Rabu, 08 Juli 2015

SEJARAH SASTRA



BAB I PEMBAHASAN
1.1 Periode 1900-1933
   1.1.1    Balai Pustaka.
          Pada abad ini bisa di bilang periode kelahiran, bermula pada tahun 1848 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk memnggunakan uang sebesar f 25.000 per tahun untuk membangun sekolahan sekolahan. Dari didirikanya sekolah ini meningkatkan minat membaca dalam bahasa Belanda, bangsa indonesia mulai faham sebagai bangsa yang dijajah.
          Lalu munculah beberapa surat kabar, misalnya pada abad ke-19, di Surabaya terbit surat kabar bintang timoer (mulai pada tahun 1862), di Padang terbit pelita ketjil (tahun 1882), lalu di Jakarta terbit Bianglala (tahun 1867).
          Lalu pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandshe School en Volkslectur) yang pada tahun 1917 berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantor voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka.
Tokoh tokoh yang terkenal pada tahun ini antara lain ialah :
1.      Raden mas (Djokonomo) Tirto Adhisurjo (1875-1916), dengan karya yang berjudul busono (1910) dan Nyai Permana (1912).
2.      Mas Marco Martodikromo dengan roman-roman nya, Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924).
3.      Semaun menuliasroman yang berjudul Hikayat Kadiroen (1924).
4.      G.Francis menulis kisah Nyai Dasima (1924).
5.      Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (1820-1887) dengan bukunya yang berjudul Max Havelaar.
6.      D.K. Ardiwinata (1866-1947) terbit buku yan berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda).
7.      Merari Siregar bukunya yang berjudul Azab dan Sengsara Anak Gadis (1920).
8.      Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya (1922).
9.      Muhammad Kasim roman yang berjudul Muda Teruna (1922)



1.1.2       Sajak-sajak Yamin dan Roestam Effendi.
                        Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai buah tangan pemud calon plitikus bernama Muh. Yamin. Pada tahun 1922 sajak “Tanah Air” di terbitkan bersama tambahannya menjadi sebuh buku kecil yang berjudul “Tanah Air” juga. Lalu pada tahun 1928 menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan ini bertepatan dengan kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal.
                        Penyair yang sezaman dengan Yamin yang sadar akan tugasnya untuk berjuang yaitu Roestam Effendi (lahir  1902), Roestam menulis sebuah buku yang pertama berjudul Bebasari (1924) dan yang kedua berjudul Pecikan Permenungan (1926).

1.1.3       Balai Pustaka dan Roman-romannya.
          Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk dan berbagai adat yang tidak lagi sesuai dengan zaman modern, menceritakan tentang kawin paksa, roman ini banyak memberi pesan-pesan moral.
          Demikian pula dengan Muda Teruna karya M. Kasim tahun  1886, tapi roman yang paling berhasil adalah yang berjudul Siti Nurbaya karya Marah Rusli.
          Penyair-penyair yang terkenal pada periode ini antara lain :
1.      Marah Rusli (1889) dengan karyanya Siti Nurbaya, La Hami (1952) dan Anak dan Kemenakan (1956).
2.      Adinegoro (Djamaluddin), karyanya yang berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928).
3.      Abas Soetan Pamoentjak karyanya berjudul Pertemuan (1927).
4.      Nur Sutan Iskandar karyanya berjudul Salah Pilih (1928).
5.      Add. Ager dengan judul Cinta yang Membawa Maut (1926).
6.      H.M. Zainuddin romannya yang berjudul Jeumpa Aceh.
7.      Tulis Sutan Satiberjudul Tak Disangka (1929).
8.      Sutan Takdir Alisjahbana yang berjudul Dirundung Malang (1929).
9.      Abdul Muis debngan karyannya yang berjudul Salah Asuhan  (1928).


1.1.4       Sanusi Pane
          Sanusi pane lahir pada tahun 1905 dan wafat pada tahun 1968, mula-mula menulis sajak-sajak dalam majalah, baik di jakarta maupun dib padang, bukunya yang pertama berupa kumpulan prosa lirik yang berjudul Pancaran Cinta (1926), kemudian di susul oleh kumpulan sajak Puspa Cinta (1927).
          Dari sajak-sajaknya tampak bahwa sanusi pane menaruh banyak perhatian kepada sejarah, misalnya dalam sajak yang berjudul “candi mendut”, dan juga dari drama-drama yang ditulisnya, ada lima buah drama yang ditulisnya dan empat di antaranya di ambil dari sejarah jawa, dua di antaranya ditulis dlam bahasa belanda yaitu, Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1932), yang ditulis dalam bahasa indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sendhyakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya adalah Manusia Baru merupakan satu-satunya dramanya yang mengambil masyarakat modern sebagai tempat berlakunya cerita. Tetapi itu pun tidak terjadi di Indonesia, melainkan di India.
          Perhatiannya kepada sejarah menyababkan ia menulis buku Sejarah Indonesia (1942) dan  Indonesia Sepanjang Masa (1952). Dan minatnya kepada sastra lama menyebabkan ia menerjemahkan Arjuna Wihawa (1948) dari bahasa kawi fdan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1945). Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1968.


1.2       PERIODE 1933-1942
            1.2.1    Lahirnya Majalah ‘Poedjangga Baroe’
            Sejak sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan antaranya juga yang memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak serta karangan-karangan tentang sastra seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka (1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926), dan lain-lainnya. Tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesustraan belum juga terlaksana. Pada tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933), mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Pada tahun 1932 itu pula Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ dalam majalah Pandji Poestaka.
Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak 1936 bunyinya berubah pula menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Majalah Poedjangga Baroe menjadi tempat berkumpul kaum budayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia pada masa itu. Berturut-turut dalam lingkungan majalah itu kita saksikan munculnya nama-nama Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng. Poerbatjaraka, W.J.S. poerwadarminta, H.B. Jassin dan lain-lainnya sebagai anggota redaksi. Nama-nama itu silih berganti, kecuali Sutan Takdir Alisjahbana yang sam[ai pun masa sesudah perang ketika majalah itu diterbitkan kembali, tetap duduk memegang kemudi redaksi.
Majalah ini terbit dengan setia, meskipun bukan tanpa kesulitan, berkat penegorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya sekitar 500 eksemplar saja setiap terbit, dan langganan yang membayar tetap hanya sekitar 150 orang. Kerugian ditanggung oleh kantong Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poedjangga Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap ‘kebarat-baratan”. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe yang banayak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Kebenarannya menandaskan bahwa bahasa Indonesia bukanlah ahsa Melayu, menimbulkan berbagai reaksi. Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemik yang seru. Sebagian dari polemik mengenai kebudayaan itu kemudian dikumpulkan oelh Achdiat K. Mihardja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Polemik Kebudayaan (1949).

1.2.2    Tokoh-tokoh Pujangga Baru
                        A.        SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
                                                       Motor dan pejuang bersemangat gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana (lahir di Natal pada tahun 1908). Ia telah sejak tahun 1929 muncul dalam pangung sejarah Indonesia, yaitu ketika menerbitkan romanya yang pertama berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roamn kedua yang ditulisnya berjudul Dian yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada Layar Terkembang dan dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka, tetapi diterbitkan sebagai buku. Tiga puluh tahun kemudian konon Takdir menulis sebua roman pula berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60.
Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting. Roman ini jelas bukan roman sekedar bacaan perintang waktu, melainkan sebuah roman bertendensi. Roman ini biasanya dianggap sebagai salah satu roman terpenting yang terbit pada tahun tiga puluhan, merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pengarang pujangga baru. Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina bahasa Indonesia. Oleh Ir.S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”. Atas inisiatif Takdir melalui Poedjangga Baroe-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan gerakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Pejuang dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).
Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang pertama, diterbitkan sebagai nomor khusus majalah Poedjangga Baroe berjudul Tebaran Mega (1936). Ia pun menyusun dua serangkai bunga rampai Puisi Lama (1941) dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing. Sastra lama sebagai pancaran masyarakat lama dan sastra baru sebagai pancaran masyarakat baru. Perubahan masyarakat itu menyebabkan perubahan puisi dan sastranya pula.

B.         ARMIJN PANE
Organisator pujangga baru ialah Armijn Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (lahir di Muarasipongi pada tahun 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra, maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra barat) di solo. Kemudian ia bergerak di suratkabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbikan majalah  Poedjangga Baroe.
Armijn terkenall sebagai pengarang roman Belenggu (1940) yang terbit pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe. Roman ini mendapat reaksi hebat, baik dari yang pro dan kontra terhadapnya. Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan di belakang dingding-dingding kesopanan. Tetapi keributan itu tidak menghalangi jalan roman ini untuk menjadi roamn terpenting yang ditulis para pengarang pujangga baru.
Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskannya bukan gerak-gerak lahir tokoh-tokaonya, tetapi gerak-gerik batinnya. Sebelum menulis romannya itu, Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototip buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judl Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan terbit di bawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula menuls esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesia Literatuur (1949).
Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari strukutur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn denagn para pengarang sejamannya.

C.         AMIR HAMZAH
Amir Hamzah (1911-1946) ialah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera Timur. Ia pergi sekolah ke jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiyai oleh pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiatan-kegiatan gerakan kebangsaan. Ia pun bersama dengan Sutan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Tetapi kemudian harus meniggalkan semuanya itu karena mmendapat peangilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah seorang putri Sultan Langkat.
Dalam sajak-sajaknya baik yang dimuat dalam Buah Rindu maupun yang dimuat dalam Nyanyian Sunyi, Amir banyak mempergunakan kata-kata lama, yang diambilnya dari khazanah bahasa Melayu dan Kawi, dan kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, jawa dan Sunda. Misalnya saja dalam sajak yng berjudul ‘Buah Rindu’.
Isi sajak Amir kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Kesedihan itu menyebabkan timbulnya rasa sunyi, pasrah diri. Tetapi keputusasaan itu setelah melampui masa kesepian dan kebimbangan, dan setelah menguji keraguan da kewaswasannya sendiri, akhirnya menemukan kedamaian dalam Tuhan yang disebutnya. Kedamaian dan keikhlasan itu dimuat sebagai sajak terkahir dalam Nyanyi Sunyi.

D.        J.E TATENGKENG
J.E Tatengkeng (1907-1968) kelahiran Sangihe dan beragama Kristen ini merupakan seorang yang taat, bahakan ketika anaknya meninggal selagi bayi, ia segera menganggapnya sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur oleh-Nya, seperti dalam sajaknya ‘Anakku’. Sajak itu bersama dengan sejumlah sajak lain diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Rindu Dendam (1934). Isi umumnya merupakan sajak-sajak kerindudendaman penyair terhadap Yang Satu, Tuhan Yang Mahaesa.
Rindu Dendam ialah satu-satunya buku J.E Tatengkeng yang pernah terbit. Tetapi sebenarnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe. Kecuali sajak, juga kritik-kritik dan esai-esainya penting, terutama karena sikapnya yang tegas dan jujur. Ia tergolong kepada pengarang pujangga baru, berasal dari Sulawesi yang selamanya tidak pernah hidup di jakarta. Justru karena itulah maka buah tanganya menarik. Bahasanya, misalnya, bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau. Struktur puisinya pun, dibanding kan dengan kawan-kawan seangkatnya yang kebanyakan berasal Sumatera, paling bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi Melayu lama lainnya.

E.        ASMARA HADI DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN
Di antara para penyair yang sajak-sajaknya sering dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe,  banyak yang sesungguhnya menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan tetapi tidak mereka lakukan. Di antaranya ialah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama samaran H.r atau Ipih, A.M. Daeng Myala (nama samaran A.M Thahir), Mozasa (nama samaran Muhammad Zain Saidi), M.R. Dajoh dan lain-lain.
Sajak-sajak Asmara Hadi yang nama sebenarnya Abdul Hadi (lahir di Bengkulu 1914) sebagian penuh romantik dan kesedihan karena ditinggal mati oleh kekasihnya yang pertama, Ipih – yang untuk berapa lama dipakainya sebagai nama samaran. Dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya itu oelh Asmara Hadi malah dijadikan sumber semangat berjuang yang tak kunjung padam.
A.M. Thahir (lahir di ujung pandang 1909) yang kalau menulis mempergunakan nama samaran A.M. Dg. Myala kecuali dalam Poedjangga Baroe, sajak-sajaknya juga dimuat dalam Pandji Poestaka dan lain-lain. Sesudah perang ia masih juga menulis dan ada sajak-sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti majalah Indonesia. Pada sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti majalah Indonesia. Pada sajaknya ada kecenderungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.
Penyair yang juga menaruh minat kepada pelukisan kehidupan si kecil ialah M.R. Dajoh (lahir di Airmadidi, Minahasa 2 November 1909). Ia pertama-tama menulis sajak dalam bahasa Belanda yang sebagian telah dihimpunkannya dalam Syair Untuk A.S.I.B (1935) yang kemudian dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Moehammad Zain Saidi (lahir di Asahan, bulan Oktober 1913) kalau menulis mempergunakan nama samaran Mozasa. Ia beberapa lamanya hidup menjadi guru di Kisaran, ketika mana ia mulai menulis sajak. Sajak-sajaknya banyak melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra.
A. Rivai (lahir di Bonjol, Sumatera Barat, tanggal 1 Juli 1876) juga kalau menulis selalu mempergunakan nama samaran, yaitu Yogi. Namanya telah muncul sebelum majalah Poedjangga Baroe terbit, yaitu dalam Sri Poestaka tahun 1930 ketika ia mengemumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Puspa Aneka diterbitkannya sendiri, setahun kemudian, tahun 1931. Tetapi ia biasanya tergolong kepada kepada penyair pujangga baru, karena sajak-sajaknya pun banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe.

1.2.3       Para Pengarang Balai Pustaka
   A.        NUR SUTAN ISKANDAR
                        Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau tahun 1893) ialah pengarang Balai Pustaka dalam arti yang sesunguhnya. Karena minat dan perhatiannya kepada dunia karang-mengarang, meninggalkan kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai Pustaka. Romannya yang pertama berjudul Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh sebuah penerbit swasta. Tetapi buku-bukanya yang kemudian semuanya (pertama kali) diterbitkan oleh Balai Pustaka. Bukunya yang kedua ialah sebuah roman pula, yang dikerjakannya dari naskah Abd. Ager, berjudul Cinta yang Membawa Maut (1928). Bukunya yang pertama yang mulai menarik hati ialah Salah Pilih (1928). Buku Sutan Iskandar yang berikut ialah Karena Mentua (1932)yang merupakan suatu roman yang kehidupan rumah tangga yang terlalu dirongrong oleh pihak mertua, sehingga mengalami berbagai krisis. Roman karangan Nur Sutan Iskandar yang terpenting ialah Hulu balang Raja (1934), yang merupakan sebuah roman sejarah yang di kerjakan berdasarkan sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (Pantai Barat dan Minangakabau, 1665-1668 terbit 1931). Roman karangan Nur Sutan Iskandar yang berikut ialah Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang mengambil tempat berlakunya di kalangan priyayi Sunda di Sumedang. Roman Cinta Tanah Air (1944) yang ditulis  Sutan Iskandar pada jaman Jepang, merupakan suatu kegagalan dan hanya merupakan suatu roman propaganda Jepang yang murah saja. Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga di sini ialah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952). Keduanya merupakan kengangn otobiografis.

B.           I GUSTI NJOMAN PANDJI TISNA
               Dalam tahun 1935 oleh Balai pustaka diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang  melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali. Buka ini  dikarang oelh I Gusti Njoman Pandji Tisna yang kemudian menjadi Anak Agung Pandji Tisna, putera bangsawan Bali lahir di Singaraja tahun 1908. Roman ini ialah roman pertama yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang ditulis oleh putera Bali sendiri dalam bahasa Indonesia. Dibandingkan dengan roman-roman yang ditulis oleh pengarang kelahiran Sumatera, roman buah tangan Pandji Tisna ini terasa lebih hidup dan lebih cepat geraknya. Tokoh-tokohnya pun lebih keras dan kejam. Roman ini kemudian disusul oleh roman Pandji Tisna yang kedua, berjudul Sukreni Gadis Bali (1936) yang juga melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam. Pandji Tisna memang terkenal sebagai seorang putera Bali yang mempunyai cita-cita hendak mengubah keadaan masyarakat Bali yang terbelakang dan menyedihkan.
               Masalah hukum karma dikemukakan pula oleh Pandji Tisna dalam romannya yang ketiga berjudul I Swasta Setahun di Bedahulu (1938). Di samping ketiga roman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka itu. Pandji Tisna masih menerbitkan roman pula. Pada masa sebelum perang, di Medan terbit romannya yang berjudul Dewi Karuna (1938). Dan sehabis perang ia menrbitkan sebuah roman pula berjudul I Made Widadi ( Kembali Kepada Tuhan ). Roman yang terbit tahun 1954 ini dikarang penulisnya setelah memeluk agama Kristen.

C.           BEBERAPA PENGARANG LAIN
               Masih ada beberapa pengarang lagi yang buah tangannya banayak diterbitkan oleh Balai Pustaka. Di sini akan dibicarakan selintas kilas tentang mereka dan buah tangan mereka yang penting.
               Tulis Sutan Sati telah menerbitkan buku sejak 1928, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang merupakan romannya yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St. Pamuntjak dalam bahasa Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia. Ia pun menulis dua buah syair. Yang pertama berjudul Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan yang kedua Syair Rosina (1933) yang dikerjakannya berdasarkan suatu kisah yang benar-benar terjadi di kota Betawi, dipetik dari buah karangan seorang wartawan terkenal yang bernama F.D.J. Pangemanan. Di samping itu ia masih menulis tiga buah roman lagi, yaitu Tak Disangka (1929), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).
                     Paulus Supit seorang pengarang berasal dari Manado menulis sebuah roman tentang perjuanagan sebuah keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan, berjudul Kasih Ibu (1932). Buku ini menarik karena daerah asal pengarangnya dan yang dilukiskannya pun ialah kehidupan sebuah kelaurga sederhana di Tomohon.
                     Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896 di Solok) yang lebih terkenal sebagai pengarang buku bacaan kanak-kanak, ialah seorang pengarang yang namanya tak bisa dilepaskan dari Balai Pustaka. Pada tahun tiga puluhan ia menulis bebrapa buah roman, antara lain yang berjudul Menebus Dosa (1932). Ia pun menulis beberapa buah buku berupa syair, antranya yang berjudul Syair si Banso ( Gadis Durhaka) terbit 1931,  Syair Gul Bakawali (1936) dan lain-lain. Bersama dengan Hardjosumarto yang berasal dari Jawa, Aman mengerjakan dua buah roamn yaitu Rusmala Dewi (1932) dan Sebabnya Rafi’ah Tersesat (1934).
                     Suman Hasibuan atau lebih terkenal sebgai Suman Hs. (lahir di Bengkalis 1904) terkenal karena gaya bahasanya yang lincah ringan dan cerita-ceritanya yang mirip kepada cerita detektif. Ia menulis beberpa roman, antaranya yang berjudul Kasih Tak Terlarai (1929), hal mana lebih jelas dalam cerpen-cerpennya yang kemudian dibukukan dengan judul Kawan Bergelut (1938). Di luar Balai Pustaka, Suman menrbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).
                     Menarik ialah sebuah roman karangan Habib St. Maharadja berjudul Nasib (1932). Roman ini mengisahkan tentang seorang pemuda Minagkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, namun demikian seluruh roamn ini bersuasana hikayat.
                     Roman yang mearik pula ialah karangan haji, berjudul Pembalasan (1935) dan Karena Kersndahan Budi (1941). Haji Said Daeng Muntu yang kalau menulis memakai nama  H.S.D. Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah yang terkenal di Sulawesi. Ia ketika masih kecil ikut dibuang bersama orangtuanya ke Sumatera Barat. Pembalasan merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah  Goa ketika daerah ini mulai dikuasai oleh Belanda.
              Menjelang Jepang masuk, Balai Pustaka menerbitkan sebuah roman yang merupakan nyanyian kemenangan kaum muda terhadap kaum kolot. Roman itu berjudul Andang Teruna (1941),  ditulis oleh seorang pemuda Jawa bernama Soetomo Djauhar Arifin (lahir 1916 di Madiun, meninggal 1959 di Jakarta).

1.2.4       Para Pengarang Wanita
      Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Talu, Sumatera Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka.
      Pengarang wanita lain yang juga mengarang roman ialah Hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935).
      Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim di samping itu menulis pula sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menerjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892). Di samping itu ia pun banyak menerjemahkan buku-buku lain.
      Pada saat-saat menjelang Jepang datang, muncul pula Maria Arain (dilahirkan di Bengkulu tahun 1920) yang menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lenih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan bebrapa prosa lirik yang simbilistis.



1.2.5      Cerita Pendek
               Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan romannya yang pertama Muda Teruna.
               Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs. Yang kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberinya judul Kawan Bergelut (1938).
               Kedeihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul Karim ‘Amrullah yang lebih terkenal sebagai Hamka (lahir Pebruari 1908 di Maninjau) seperti yang dikumpulkan dalam Di dalam Lembah Kehidupan (1941). Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs., Hamka mempergunakan cerpen bukan sebagai penghibur hati, melainkan sebagai usaha untuk mengunggah rasa sedih para pembaca.
               Yang menulis cerpen-cerpen yang lebih sungguh-sungguh dan lebih berhasil ditinjau dari segi sastra ialah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banayk dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, antaranya yang berjudul ‘Barang Tiada Berharga’ misalnya sangat kuat sekali. Cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya belengu. Dari cerpen-cerpennya itu tampak usaha Armijn untuk membuat lukisan dari kenyataan hidup sehari-hari pada jamannya.              
            Pada masa sesudah perang, cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan da diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sayang bahwa kebanyakan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian tidaklah seberhasil yang ditulisnya duluan.
            Kalau ‘Barang Tiada Berharga’ merupakan prototip bagi roman Belenggu yang ditulis Armijn kemudian, maka kita pun menemukan prototip roman Layar Terkembang dalam cerpen ‘Mengamendung’ yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit. Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji Poestaka.
1.2.6           Drama
             Dalam bidang penulisan drama, kita hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang rata-rata menulis lebih dari pada hanay satu drama. Seperti pernah dikatakan, Roestam Effendi telah menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama-sajak berjudl Bebasari (1924). Umumnya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.
                 Drama Sanusi Pane yang mengambil tempat peristiwa terjadinya di India, Manusia Baru (1940), sebenarnya merupakan closet drama juga. Disamping Sanusi Pane, Armijn Pane yang banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Berbeda dengan abangnya,  Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup jamannya.
                 Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1953). Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai Pustaka dua buah buku drama buah tangan Sa’adah Alim dan Adlin Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tanagn Adlin Affandi berjudul Gadis Modern (1941). Keduanya merupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.

1.2.7           Roman-roman dari Medan dan Surabaya
Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dalam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutkan penerbitan roman-roman picisan.
Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatera Barat Yng perna mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Roman Hamka yang pertama berjudul Di bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengisahkan cinta tak sampai antra dua kekasih yang terhalang oleh adat. Romannya yang kedua Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939). Roman ini menimbulkan heboh  pada tahun 1962, karena ada orang yang menyebutkan roman ini sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alhonse Karr yang pernah disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustafa Luthfi Al-Manfalutfi (1876-1924) seorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka.
Hamka menulis pula Karena Fitnah (1938) dan Merantau ke Deli (1939). Sehabis perang, disamping kesibukannya menulis berbagai-bagai kitab tentang soal-soal agama Islam, Hamka masih sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948).
Pengarang lain yang juga menrbitkan buku-bukunya di Medan yang penting disebut di sini antara lain Matu Mona, nama samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1910 di Medan). Ia seorang wartawan yang agaknya banayak menulis buku-buku yang bersifat populer, meski pun ia ada juga menulis roman berlatar belakang peristiwa sejarah, berjudul Zaman Gemilang (1939).
Sebuah roamn terbit di Surabaya mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali berjudul Kintamani (1932) buah tangan Iman Supardi. Pangarang ini ialah seorang wartawan yang aktif di Surbaya, terutama dalam penerbitan-penerbitan berbahasa Jawa. Kecuali roman ini tak diketahui lagi buah tangannya ang lain dalam bahasa Indonesia.

1.2.8       Para Penyair dari Sumatera
                                  Atas usaha penyairnya sendiri atau atas usaha penerbit-penerbit swasta yang kecil-kecil di Medan dan kota lain di Sumatera terbit beberapa buah kumpula sajak. Dalam membicarakan para penyair pujangga baru telah disebut tentang kumpulan Sajak Puspa Aneka buah tangan Yogi Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan laian-lain pun mempunyai buku-buku kumpulan sajak yang kalau hendak dilihat tebalnya saja, rata-rata lebih tebal daripada buku-buku kumpulan sajak yang terbit di Jakarta.
                                     A. Hasjmy atau kadang-kadang juga menuliskan namanya M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) telah disebut namanya sebagai anggota lingkungan pujangga baru. Sajak-sajaknya memang ada juga yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Seorang pengembara yang empat tahun kemudian disusul dengan yang kedua berjudul Dewan Sajak (1940).
                                  Di samping sajak-sajak yang dimuat dalam kedua kumpulan ini, masih banayak lagi sajak-sajak Hasjmy yang berserekan dalam berbagai  majalah. Sebgaian dari sajak-sajak ynag berserekan itu pada masa sesudah perang dibukukan bersama dengan beberapa buah cerpen yang ditulisnya, di bawah judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).
                                  Lebih rendah lagi mutunya dari sajak-sajak A. Hasjmy ialah sajak-sajak Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar. Tahun 1941 ia menerbitkan seberkas sajak dengan judul Indonesia Baru yang olehnya “ Dipersembahkan kepada Angkatan Muda “. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena tak ada penghayatan. Sehabis perang masih ada kumpulan sajak dari tangannya yang terbit, antara Diriku Ta’ada (1949).
                                  Sajak-sajak H.R. Bandaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1917) dalam bukunya Sarinah dan Aku (1940). Sajak Bandaharo yang dimuat dalam majalah-majalah antaranya ada yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Pada masa sesudah perang, ia aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil menerbitkan beberapa kumpulan sajak, antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).
                                  Lebih bernilai untuk diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun 1909) yang berjudul Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan keprcayaan agamayang dipeluknya, agama Islam. Ia pun menerjemahkn kedalam bentuk puisi beberapa surat Al-Qur’an, yaitu surat Al-Ikhlas menjadi ‘Maha Tunggal’, surat Al-Asri menjadi ‘Waktu’ dan surat An-Nasri menjadi ‘Bersyukurlah’.

                 Penyair terpenting yang menerbitkan kumpulan sajaknya Medan sebelu perang ialah Samadi, nama samaran Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang diterbitkannya itu berjudul Senandung Hidup (1941). Penyair ini bebrapa lamanya menjadi kepala sekolah H.I.S. di Kuala Simpang, kemudian sejak 1939, ia menjadi redaktur majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sajak-sajak yang dihimpunkan dalam Senandung Hidup itu ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941. Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecambuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
1.3       PERIODE 1942-1945
1.3.1    Saat-saat Yang Mematangkan
            Dijajah Jepang selama tiga setengah tahun merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga sastra Indonesia. Bahasa Indonesia yang tadinya dihindarkan oleh Belanda supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan, oleh Jepang malah dijadikan satu-satunya bahasa yang dipergunakan di seluruh kepulauan dan dalam bidang kehidupan. Bahasa Belanda dilarang dengan bermaksud menggantinya dengan bahasa Jepang sendiri, namun karena masa jajahan Jepang hanay tiga setengah tahun kedudukan bahasa Indonesia semakin diuntungkan dan menjadi bahasa yang tetap dan kuat kedudukannya.
     Dengan semakin intensifnya bahasa Indonesia dipergunakan, maka berpengaruh pula pada sastra Indonesia yang mengalami intensifikasi. Dengan semboyan tiga-A, Para pengarang beserta dengan seniman lainnya dikumpulkan oleh Jepang di kantor Pusat Kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka Shidosho. Seniman-seniman dikerahkan untuk membuat lagu-lagu, lukisan-lukisan, slogan-slogan, sajak, bahkan film, yang bertujuan untuk membangkitkan semangat, menambah kepercayaan orang kepada keunggulan balatera Dai Nippon.
     Terhadap perbudakan kesenian untuk tujuan propaganda perang ini banyak seniman yang keberatan. Meski mula-mula uluran tangan Jepang disambut dengan antusias, namun kian lama kian banyak seniman terbuka matanya. Usmar Ismail yang pada mulanya sangat percaya kepada janji dan slogan-slogan buatan Jepang, kemudian merasa curiga juga. Sedang Chairil Anawar, Amal Hamzah dan beberapa orang kawannya lagi yang sejak semula menaruh curiga kepada Jepang. Mengejek para seniman yang berkumpul di Kantor Pusat Kebudayaan. Amal Hamzah menulis sebuah sandiwara berjudul “Tuan Amin” yang merupakan sindiran kepada Armijn Pane yang pada saat itu bersemangat menyokong Jepang dan menulis sandiwara-sandiwara sesuai dengan permintaan Jepang. Disamping itu Amal Hamzahpun menulis dialog antara X dan Y, keduanya seniman, dengan judul ‘Seniman Penghianat’. Percakapan antara dua seniman itu mewakili dua dunia seniman. Yang satu seniman yang mau menjaga kemurnian ciptaannya karena itu menolak jadi kacung Kantor Pusat Kebudayaan; sedangkan yang lain mengabdi di Kantor Pusat Kebudayaan yang membuat sajak, cerita pendek, sandiwara dan lain-lain sesuai dengan pesanan. Tokoh ini membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak merasa dirinya sebagai seniman melainkan sebagai seorang pegawai.
     Chairil Anwar mengemukakan pendapatnya mengenai prinsip-prinsip penciptaan seni, konsepsinya mengenai seni dan seniman, dalam sebuah pidato yang diucapkannya di muka Angkatan Baru tahun 1943. Dengan tegas ia mengemukakan bahwa baginya :Keindahan(ialah) persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup” dan mencapai keindahan” serta lebih lanjut: “seniman ialah tanda dari hidup yang melepas bebas”. Teranglah kiranya bahwa bagi seniman yang berpendirian seperti itu, slogan-slogan dan wahyu-wahyu yang timbul dari instruksi atasan tidaklah berarti.
     Pada masa penjajahan Jepang ini kita kian banyak jumlah orang yang menulis sajak dan cerpen, demikian juga sandiwara. Sedangkan roman kurang ditulis. Mungkin karena keadaan sosial dan keadaan perang menuntut supaya orang bekerja serba cepat dan singkat. Balai pustaka selama masa itu hanya menerbitkan dua buah roman saja, yaitu Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944) oleh Karim Halim (lahir tahun 1918). Keduanya roman propaganda yang tak bernilai sastra.
     Situasi Jepang dan penderitaan lahir-batin dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita. Juga pada masa inilah kita menyaksikan bahasa Indonesia mengalami pematangan, yaitu pada sajak-sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus. Bahasa Indonesai bukan lagi hanya sekedar alata untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucapan sastra yang dewasa.
     Kehidupan yang mura-marit dalam bidang ekonomi juga mengajar para pengarang Indonesia supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, setiap kalimat, setpa alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkan pada pembaca. Juga sebagai sumber superlativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru, telah ditinggalkan. Seperti dapat kita saksikan dalam prosa karangan Idrus, ekonomisasi kata dan bahasa itu tampak jelas sekali. Bahkan cara penulisan pun disederhanakan. Gaya yang dipakai oleh Idrus dikenal sebagai gaya-menyoal-baru ( nieuw zakelijkheids stijl) yang serba sederhana.
     Pun bidang perhatian dalam memilih materi buat menulis sastra menjadi lebih sederhana. Yang menjadi perhatian para pengarang bukanlah lagi masalah yang pelik-pelik ataupun kehidupan yang rumit, melainkan kenyataan sehari-hari yang tampak dengan mata kepala.

1.3.2    Para Penyair
      Meskipun benar bahwa sebagian besar sajak asli Chairil Anwar ditulis padajaman Jepang, tetapi karena kebanyakan baru diumumkan sesudah revolusi dan sajak-sajaknya ssudah revolusi lebih matang, maka tentang penyair itu tidak akan dibicarakan dalam kesempatan ini. demikian juga tentang Idrus. Pada masa Jepang ini kita menyaksikan beberapa penyair muncul. Yang terpenting di antaranya ialah Usmar Ismail, Amal Hamzah dan Rosihan Anwar.
     Usmar Ismail, seorang pemuda Minangkabau kelahiran Bukittinggi tanggal 20 Maret tahun 1921, lebih dikenal sebagai seorang dermawan dan cineaste ( pembuat film), terutama dalam tahun-tahun belakangan. Dalam dunia sastra ia lebih terkenal sebagai penulis drama. Tetapi ia mulai masuk ke dunia kesusastraan khususnya dan kesenian umumnya dengan sajak-sajak dan beberapa buah cerpen. Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa buah saja, antara lain dimuat dalam Pancaran Cinta(1946) dan Gema( 1948). Keduanya disusun oleh H.B. Jassin. Sajak-sajak Usmar sebagian besar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Puntung Berasap(1949).
Amal Hamzah, adik Amir Hamzah yang lahir di Binjai, Langkat tanggal 31 Agustus tahun 1922, dalam sajak-sajaknya yang pertama menunjukkan pengaruh abangnya. Amal mulai menulis di jaman Jepang, ketika mana ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalis. Juga dalam sandiwara-sandiwara dan cerita atau sketsa yang dibuatnya, sensualisme sangat kentara. Ia tampkanya mau menjadi nihilis yang mencampakkan segala nilai dan kehendak mereguk hidup sepuas-puasnya tanpa mengindahkan moral dan agama lagi. Sajak-sajak dan karangan lainnya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pembebasan Pertama(1949). KECUALI Pembebasan Pertama, Amala Hamzah menulis Buku dan Penulis (1950) yang merupakan kumpulan kritikannya tentang beberapa roman dan drama di Indonesia. Kemudian ia lebih banyak menaruh minat kepada menerjemahkan.
Rosidah Anwar( lahir di Padang pada tanggal 10 Mei 1922) yang sekarang lebih terkenal sebagai seorang wartawan dan kolumnis terkemuka, pada jaman Jrpang menulis sejumlah sajak dan cerpen. Sajak-sajaknya bnayak melukiskan perasaan dan semangat pemuda. Cerpennya berjudul “Radio Masyarakat’ melukiskan kemelut jiwa pemuda yang dilanda keraguan atas segala janji-janji kosong dari Jepang.
Pada tahun 1967 Rosihan menerbitkan sebuah roman berjudul  Raja Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka, yang merupakan sebuah roman sejarah semenanjung pada awal abad ke-18.
Penyair lain yang juga muncul pada jaman Jepang ialah Anas Ma’ruf (lahir di Bukit Tinggi, 27 Oktober 1922), yang pada jaman sesudah perang lebih terkenal sebagai organisator kebudayaan dan penerjemah. Ia menulis sejumlah sajak dan esai serta kritik. Ia pun menerjemahkan karya-karya para pengarang dunia seperti Rabindranath Tagore, John Steinbeck( pengarang Amerika pemenang nobel), WilliamSaroyan9 juga pengarang Amerika) dan lain-lain. Ia lama menjadi sekretaris Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional dan memegang redaksi majalah kebudayaan Indonesia.
M.S. Ashar 9lahir di Kutaraja, 19 Desember 1921) yang pada jaman Jepang menulis beberapa buah sajak menjadi terkenal karena sebuah sajaknya yang berjudul “ Bunglon”. Sajak itu merupakan sindiran bagi orang-orang yang bertabiat plin-plan, yang pada masa itupun sudah banyak kelihatan.
           Dua orang penyair wanita yang muncul pada jaman Jepang ialah Maria Amin ( lahir di Bengkulu tahun 1921) yang sebenarnya sudah muncul dalam majalah Poejangga Baroe, dan Nursjamsu lahir di Lintau, Sumatera Barat, tanggal 6 Oktober 1921). Maria Amin oleh kekecewaan melihat kehidupan sosial politik lalu lari kedalam dunia simbolik.

1.3.3    Cerita Pendek
Pada jaman Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa pengarang baru muncul. Sayembara mengarang cerpen diadakan; dalam majalah-majalah yang terbit saat itu seperti Pandji Poestaka, Djawa Baroe dan lain-lain cerpen banyak diberi tempat.
Pada jaman Jepang itu H.B. Jassin (lahir di Gorontalo 31 Juli tahun 1917) juga menulis cerpen, salah sebuah cerpennnya berjudul ‘Anak Laut’, kemudian bersama dengan cerpen-cerpen buah tangan beberapa pengarang lain diterbitkannya secara bersama dengan judul Pancaran Cinta (1946).
Pengarang cerpen lain yang muncul pada jaman Jepang ialah Bakri Siregar( lahir di Langsa, Aceh tahun 1922). Cerpennya yang pertama berjudul ‘ Di tepi Kawah’ mendapat hadiah pertama sayembara mengarang cerpen. Cerpen itu melukiskan kehidupan di tepi kawah yang jauh dari masyarakat umum.
Pada masa sesudah perang Bakri masih ada juga menulis cerpen. Tetapi peranannya sebagai pimpinan Lembaga Seni Sastra Lekra lebih banyak dicurahkan kepada penulisan karangan-karangan yang berupa kritik, polemic dan semacamnya.


1.3.4    Drama
Penulisan drama pada jaman Jepang ini boleh dikatakan sangat subur. Hal itu mungkin disebabkan pula oleh kegiatan rombongan sandiwara yang berkumpul dalam Perserikatan Oesaha Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armin Pane.
Beberapa nama pengarang yang banyak membuat sandiwara pada jaman Jepang ialah Armin Pane, Usmar Ismail, Abu Hnifah, Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi dan lain-lain.
Umar Ismail yang namanya sudah kita sebut dalam hubungan oenulisan sajak dan cerpen, pada jaman Jepang ini menyadur sebuah kisah berjudul ‘Chichi Kaeru’. Drama-drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan ialah’Mekar Melati’ dan ‘ Tempat yang Kosong’.
Abang Umar Ismail yang bernama Abu Hnifah kalau menulis mempergunakan nama samara El Hakim, lahir 1906 di Padangpanjang, dalam drama El Hakim terasa dasar-dasar agama Islam dan kecenderungan memilih Timur dalam pertarungan antara Timur dengan Barat yang dianggapnya sebagai pertentangan antara Idealisme dengan Materialisme.

BAB II PERIODE PERKEMBANGAN
2.1       PERIODE 1945-1953
2.1.1    Angkatan 1945
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah astra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang betapa pun masih mengingatkan kita kepada satra Melayu, eskipun sajak-sajak Amir itu memang indah dan bernilai tinggi. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, bahkan bernilai tinggi. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa.
Segera Chairi Anwar mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengodjo, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah, Walujati, Harjadi S. Haertowardojo, Muh. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya-me-nyoal-baru yang segera pula mendapat pengikut yang luas.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama: ada yang menyebutnya Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain.
Baru pada tahun 1950 ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama ‘Gelanggang Seniman Merdeka’. Dalam perkumpulan ini, kecuali para pengarang, juga berkumpul para pelukis, musikus dan seniman-seniman lain seperti Baharudin M.S. (pelukis), Mochtar Apin (pelukis), Henk Ngantung (pelukis), Basuki Resobowo (pelukis), Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Rival Apin dan lain-lain.
           

2.1.2    Beberapa Tokoh
                        A.        CHAIRIL ANWAR
Chairil Anwar dilahirkan di Medantanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai MULO (SMP) dan itupun tidak tamat. Kemudaian ia pindah ke Jakarta. Tetapi ia seorang yang banyak sekali membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi.
Sajaknya yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualistis ialah yang berjudul ‘Aku’ (di tempat lain diberinya berjudul ‘Semangat’). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang”, sebutan mana segera menjadi terkenal.
                        Tetapi disamping seorang individualis, Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya ‘Diponegoro’, ‘Krawang-Bekasi’, ‘Persetujuan dengan Bung Karno’, ‘Siap Sedia’, ‘Cerita buat Dien Tamaela’ dan lai-lain.
Pada tahun 1948, Chairil menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana. Tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah bisa betah lama-lama bekerja disuatu kantor. Dan pada tahun1949, tanggal 28 April, ia meninggal di rumah sakit umum pusat Jakarta karena tipus dan berebagai penyakit lain. Ketika dia dikuburkan di pemakaman Karet, masyarakat Jakarta menunjukkan perhatian yang besar dengan mengiringkan jenazah.
Baru pada waktu ia sudah meninggallah saja-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan Yang Terhempas Dan Yang Luput (1949). Deru Campur Debu (1949) dan Tiga Menguak Takdir (1950).yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin. Tulisan-tulian Chairil yang tidak termuat dalam keiga kumpulan itu kemdian diterbitkan dengan kata pengantar dari H.B. Jassin, berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1956).

B.           ASRUL SANI dan RIVAI APIN
Penyair kawan seangkatan Chairil yang bersama-sama mendirikan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’ iala Asrul Sani dan Rivai Apin. Ktiga penyair itu, Chairil-Asrul-Rivai, biasanya dianggap sebagai trio pembaharu Indonesia, pelopor Angkatan ’45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950). Judul itu oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai usaha ketiga penyair itu dalam menghadapi (“menguakkan”)bSutan Takdir Alisjahbana, sebab perkataan “Takdir” di situ dihubungkan dengan perjuangan ketiga orang itu menghadapi Pujangga Baru yang dalam hal ini dilambangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. 
Asrul Sani lahr di Rao, Sumatera Barata tanggal 10 Juni 1926. Ia pertama kali mengumumkan sajak-sajak an karya-karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia.
Asrul Sani seorang sarjana kedokteran hewan yang kemudian menjadi direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS wakil seniman.
Sajak-sajak Asrul sangat merdu (melodious). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya ‘Mantera’ dan ‘Surat Dari Ibu’ menunujukkan pandangan hidupnya yang moralis. Sajaknya ‘Pengakuan’ merupakan pengakuannya sebagai manusia yang senantiasa mencari.
Cerpen-cerpen Asrul melukiskan betapa halus perasaannya kepada manusia; melukiskan kehidupan dan sifat-sifat manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaannya sendiri. Kehidupan masyarakat yang kaku dan orang-orang yang berwatak suka kepada belenggu aturan yang dibuatnya sendiri, banyak disindir Asrul dalam cerpen-cerpennya. Dalam cerpen-cerpen Asrul terasa ada usaha menyelami dan mengemukakan situasi manusia yang membelenggu karena kebodohan manusia sendiri. Beberapa cerpennya yang terkenal berjudul ‘Bola Lampu’, ‘Sahabat Saya Cordiaz’, ‘Si Penyair Belum Pulang’, ‘Perumahan bagi Fadjria Novari’, ‘Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat’, ‘Museum’, ‘Panen’ dan lain-lain.
                        Seorang sarjana sastra dari Universitas Indonesia telah menulis buku yang meneliti dan menanggapi sajak-sajak dan cerpen-cerpen Asrul. Sarjana ialah Drs. M.S. Hutagalung dan hasil penelaahannya mengenai buah tangan Asrul berjudul Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967). Dalam buku itu dimuatkan juga sebagian besar sajak-sajak Asrul yang tidak termuat dalam Tiga Menguak Takdir dan Gema Tanah Air (1948) yang disusun H.B. Jassin. Juga cerpennya ‘Museum’ dimuat dalam buku Hutagalung tersebut.
                        Rivai Apin lahir di Padangpanjang tanggal 30 Agustus 1927. Sejak masih duduk di sekolah menengah ia telah mengumumkan sajak-sajaknyadalam majalah-majalah terkemuka, ia pun pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema Suasana, Gelanggang, Zenith, dan lain-lain. Tahun 1954 ia melakukan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya: ia keluar dari redaksi Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dan bebrapa lamanya memimpin majalah kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan P.K.I.

C.        IDRUS
Idrus yang lahir di Padang Panjang tanggal 21 September 1921 biasanya dianggap orang sebagai salah seorang tokoh pelopor Angkatan ’45, tetapi ia sendiri selalu menolak penamaan itu. Namun demikian, taklah pula dapat dibantah peranannya dalam merombak dan memperbaharui penulisan prosa sastra Indonesia, terutama ketika ia memperkenalkan gaya-menyoal-baru.
Setelah keluar dari sekolah menengah, Idrus masuk bekerja menjadi redaktur Balai Pustaka, ditempat mana ia bertemu serta berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Nur Sutan Iskandar dan lain-lain. Pada jaman Jepang, ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti ceritanya yang berjudul ‘Ave Maria’ dan dramanya ‘Kejahatan Membalas Dendam’. Ia meninggalkan cerita-cerita romantik “tanam kapas” dan mulai melukiskan realitas kehidupan sehari-hari masa itu. Baru pada masa sesudah revolusi tulisan-tulisan itu diumumkan dengan judul umum ‘Corat-coret di bawah Tanah’. Dalam corat-coretnya itu ia melukiskan kehidupan rakyat di jaman Jepang secara sinis dan kasar.
Sikap sinis dan kasar ini diperlihatkannya pula ketika ia menulis tentang para pejuang kemerdekaan menghadapi pasukan-pasukan Inggris dan Belanda yang mau menjajah lagi di Indonesia dalam karangannya yang berjudul ‘Surabaya’. Dalam karangannya itu para pejuang kemerdekaan disebutnya “koboi-koboi” dan tentara sekutu sebagai “bandit-bandit”.
Karangan-karangan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul  Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948). Buku Idrus yang lain ialah Aki (1950) yang merupakan simboliknya dengan maut. Di samping sebuah sandiwara yang berjudul Keluarga Surono (1948) diterbitkan di Medan.
Di lapangan penerjemahan ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1860-1904), pengarang Italia Luigi Pirandello (1867-1904), pengarang Cekoslovakia Jaroslav Hasek (1883-1923), pengarang Belgia Willem Elsschot (1882-19  ) dan lain-lain.
Kemudian Idrus beberapa tahun lamanya hidup di Kualalumpur, mendirikan penerbitan buku-buku dan majalah. Buku yang ditulis dan diterbitkannya disana berjudul Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963). Sesudah itu Idrus pergi ke Australia mengajar sastra Indonesia modern di Monash University, dan menerjemahkan cerpen-cerpen Indonesia ke dalam bahasa Inggris.

D.        ACHDIAT K.MIHARDJA
Meskipun pada jaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah di Garut bernama Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak pernah disebut-sebut dalam dunia satra sampai ia muncul dengan romannya yang berjudul Atheis (1948). Roman yang di tulis ketika pengarang sudah berusia agak lanjut ini (ia dilahirkan di Garut tanggal 6 Maret 1911) sekaligus merupakan suatu sukses dan menyebabkan pengarangnya dianggap sebagai salah seorang pengarang roman terkemuka di Indonesia. Meskipun menilik usianya ia lebih dekat dengan para pengarang pujangga baru (ia kawan sekelas Amir Hamzah di AMS Solo) tetapi oleh para penelaah sastra Indonesia ia biasanya digolongkan kepada para pengarang Angkatan ’45.
Atheis adalah sebuah roman yang melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh utamanya, seorang pemua kelahiran desa bernama Hasan.
Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orisinal. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back (cara kisah  dengan menceritakan kembali yang sudah terjadi sebelumnya) bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman Indonesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit tahun 1920 pun sudah memepergunakan cara berkisah flash-back itu.
Tentang roman Atheis ini seorang sarjana sastra, Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan telaahnya berjudul Roman Atheis (1963).
Sebagai pengarang, Achdiat bukanlah seorang yang produktif benar. Beberapa tahun lamanya setelah Atheis terbit ia hanya menerbitkan Polemik Kebudayaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang dan sebuah drama kanak-kank yang berjudul Bentrokan dalam Asrama (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula karya sastra dari tangannya berupa buku, ialah Keretakan dan Ketegangan yang merupakan kumpulan cerpen dan drama satu babak. Buku ini mendapat hadiah sastra nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955-1956 untuk cerpen.
Pada tahun 1961 terbit pula kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Kesan dan Kenangan, khusus memuat cerpen-cerpen yang berdasarkan pengalaman-pengalamannya sebagai seorang pengelana dari satu benua ke benua lain dan menemukan manusia-manusia dengan berbagai persoalan.

E.           PRAMOEDYA ANANTA TOER
        Pengarang yang dilahirkan di Blora tanggal 2 Pebruari 1925 ini, meskipun sudah mulai mengarang sejak jaman Jepang dan pada masa awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949 ketika cerpennya ‘Blora’ yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lain yang juga ditulis Pram dalam penjara diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).
        Pram ditahan sejak tahun 1947 dan baru keluar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Selama dalam penjara itu ia banyak menulis. Kecuali roman Perburuan yang diselundupkan melalui Dr. G.J. Resink dan H.B. Jassin untuk kemudian diikutkan pada sayembara mengarang Balai Pustaka juga ia menyelesaikan roman Keluarga Gerilya (1950) dan sejumlah cerpen. Cerpen-cerpen yang ditulis dipenjara itu bersama-sama dengan beberapa cerpen yang ditulis sebelumnya, kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Percikan Revolusi.
        Karya yang berjudul Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951/1952) merupakan pengalaman-pengalamannya selama dipenjara; Cerita dari Blora (1952), Di Tepi Kali Bekasi (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Gulat di Jakarta (1953), Korupsi (1954), Midah, si Manis Bergigi Emas (1954), Cerita dari Jakarta (1957) dan lain-lain.

F.           MOCHTAR LUBIS
Mochtar Lubislebihterkenal sebagai wartawan. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1922 dalam sebah keluarga Batak Mandailing. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di lapangan penerangan. Sesudah merdeka ia turut mendirikan kantor berita ‘Antara’ dan terus bergerak dilapangan jurnalistik.
Buku romannya yang pertama berjudul Tak Ada Esok (1950). Romannya yang kedua Jalan Tak Ada Ujung (1952) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. untuk roman 1952.
Tentang roman Mochtar yang kedua ini telah ditulis sebuah buku yang khusus menelaah dan menyiasatinya oleh Drs. M.S. Hutagalung berjudul Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963).
Roman ketiga yang ditulis oleh Mochtar ialah Senja di Jakarta yang diselesaikan ketika ia berada dalam tahanan. Roman ini pertama kali diterbitkan dalam terjemahan Inggris, yaitu Twilight in Jakarta (1963) yang mendapat sambutan dalam pers dunia.
Juga romannya yang keempat berjudul Tanah Gersang (1966) yang melukiskan kehidupan para remaja kota yang menghadapi kemelut, tidaklah sebaik-seindah Jalan Tak Ada Ujung.
Di samping menulis roman, Mochtar pun banyak sekali menulis cerpen dan kadang-kadang menulis esai. Kalau menulis esai ia sering mempergunakan nama samaran Savitri.
Cerpen-cerpennya sebagian telah diterbitkan menjadi dua buah kumpulan. Yang pertama berjudul Si Jamal (1950) dan yang kedua berjudul Perempuan (1956).

G.           UTUY TATANG SONTANI
Pada saat-saat pertama Jepang menginjakkan kaki di bumi Indonesia, pengarang kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah menulis beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera (1943).
Dramanya yang pertama berjudul Suling (1948), drama yang kedua berjudul Bunga Rumah Makan (1948). Dramanya yang berjudul Awal dan Mira (1952) yang mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N.
Drama-dramanya yang ditulis sesudah itu melukiskan kegetiran yang lebih pesimistis lagi. ‘Manusia Iseng’, ‘Sayang Ada Orang Lain’, ‘Di Langit Ada Bintang’, dan ‘Saat Yang Genting’ melukiskan kemelut manusia kota dalam kehidupan yang hancur sendi-sendinya dan kehilangan norma–norma moral serta agama.
Dua buah dramanya yang berjudul ‘Selamat Jalan Anak Kufur!’ dan ‘Saat Yang Genting’. Puncak individualisme dalam drama-drama Utuy terdapat dalam Sang Kuriang (1959). Drama lain juga mempergunakan nama tokoh dongeng rakyat Sunda ialah Si Kabayan (1959) yang merupakan sebuah komedi.
Sesudah itu Utuy membuat belokan yang tajam : awal tahun 1960-an ia masuk Lekra dan menulis sebuah drama agitasi berjudul Si Sapar (1964) dan Si Kampeng (1964). Yang pertama tentang “setan-setan kota” dan yang kedua tentang “tujuh setan desa”. Di samping itu masih ada pula sebuah kumpulan cerpen Utuy, berjudul Orang-orang Sial (1951) yang suasananya lebih dekat dengan Awal dan Mira.

H.           SITOR SITUMORANG
Pengarang kelahiran Harianboho, Tapanuli, tanggal 2 Oktober 1924 ini sudah mulai menulis esai, kritik, sajak, bahkan juga cerpenpada akhir tahun empat puluhan. Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Surat Kertas Hijau (1954). Kemudian disusul oleh kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Dalam Sajak (1995) dan yang ketiga berjudul Wajah Tak Bernama (1956). Kumpulan sajaknya yang keempat baru terbit beberapa tahun kemudian, berjudul Zaman Baru (1962), ia pun menerbitkan pula drama yang berjudul Jalan Mutiara (1954), dan kumpulan cerpen yang berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956) dan Pangeran (1963).

I.                        AOH K. HADIMADJA
Aoh K. Hadimadja yang kadang-kadang juga mempergunakan nama samaran Krlan Hadi, mulai muncul dalam dunia sastra Indonesia pada masa sebelum perang. Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Pada masa Jepang ia menulis sajak-sajak yang religius. Beberapa buah di antaranya kemudian dimuat dalam kumpulannya Zahra (1952), yaitu yang berjudul ‘Pecahan Ratna’ dan ‘Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu’. Dalam kumpulan itu dimuat pula sandiwaranya berjudul ‘Lakbok’.
Ia dilahirkan di Bandung tanggal 15 September 1911. Sejak 1953 ia lebih banyak di Eropa daripada di tanah air. Beberapa tahun lamanya ia menjadi pegawai Radio Hilversum Nederland dan BBC London. Sementara itu ia banyak menulis cerpen dan menerjemahkan sastra Inggris.


J.            M. BALFAS dan RUSMAN SUTIASUMARGA
M. Balfas dan Rusman Sutiasumarga ialah dua pengarang cerpen yang sering digolongkan kepada para pengarang Angkatan ’45, meski jumlah buah tangannya tidaklah seperti para pengarang yang sudah dibicarakan terlebih dahulu.
M. Balfas (lahir di Jakarta 25 Desember 1992) lebih terkenal sebagai prosais, meski ia pun ada juga menulis satu-dua buah sajak. Cerpennya ‘Anak Revolusi’. Kemudian bersama dengan beberapa buah cerpen dan fragmen roman. ‘Anak Revolusi’ dibukukan dengan judul Lingkaran-lingkaran Retak (1952). Di Kuala Lumpur Balfas menulis sebuah roman berjudul Retak (1964), juga pernah menulis sebuah sandiwara berjudul ‘Tamu Malam’ dan sejumlah cerpen yang belum dibukukan.
Rusman Sutiasumarga (lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917) mulai menarik perhatian pada tahun 1946 ketika cerpennya ‘Gadis Bekasi’ mendapat hadiah dari Balai Pustaka. Ada juga cerpennya berjudul Yang Terempas dan Yang Terkandas (1951).
Cerpen-cerpennya  yang lebih kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam proyek 16 halaman berjudul Korban Romantik (1964) dan  Kalung (1964).

K.           TRISNO SUMARDJO
Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya tanggal 6 Desember 1916) kecuali sebagai pengarang dikenal sebagai pelukis. Bukunya yang pertama, kecuali terjemahan, ialah Kata Hati dan Perbuatan (1952). Kemudian menerbitkan Cina Taruna (1953), sebuah sandiwara alegoris. Bukunya yang kemudian berjudul Rumah Raja (1957) memuat dua buah cerita, ‘Rumah Raja’ dan ‘Pak Iman Intelek Istimewa’.
Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Daun Kering (1962). Di samping itu ada pula kumpulan lain yang berjudul Wajah-wajah yang Berubah (1968). Cerpennya ‘Topeng’ merupakan sebuah prosa yang sangat indah.
Sajak-sajaknya dikumpulkan dan diterbitkan dengan stensil, berjudul Silhuet (1966). Ia banyak menerjemahkan sastra dunia, antara lain drama-drama Shakespeare: Hamlet (1950), Macbeth (1950), Saudagar Venezia (1951), Prahara (1952), Manasuka (1952), Impian di tengah Musim (1954), Romeo dan Julia (1955), Antonius dan Cleopatra (1963), dan sejumlah sonetanya. Kecuali itu juga diterjemahkannya Dongeng-dongeng Perumpamaan (1959) dari Pujangga Perancis Jean de la Fontaine, dan Dokter Zhivago (1960) dari pengarang Rusia Boris Pasternak, dan lain-lain.

L.           MH. RUSTANDI KARTAKUSUMA
Barangkali tidaklah terlalu tepat menggolongkan Mh. Rustandi Kartakusuma kepada Angkatan ’45. Drama yang ditulisnya berjudul Merah Semua Putih Semua (1961) berbentuk novela yang latar belakangnya masa revolusi fisik melawan Belanda. Dari penulisan drama, Rustandi kemudian juga melakukan penulisan scenario film yang literer, yaitu yang berjudul Lagu Kian Menjauh (1959). Kumpulan sajaknya yang berjudul Rekaman dari Tujuh Daerah (1951). Banyak pula sajak-sajak yang ditulisnya berdasarkan kisah-kisah lama seperti cerita pantun Sunda seperti ‘Lutung Kasarung’, dari kisah Singasari dalam ‘Kartanegara’ dan kisah Adam dan Hawa dalam ‘Parade Lost’ dan lain-lain.
Sementara itu Mh. Rustandi yang lahir di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Dia juga menulis esai-esai yaitu ‘Adan dan Si Anak Hilang’, ‘Homo Faber’, ‘Surat dari Cidadapgirang’.

2.1.3    Para Pengarang Wanita
            Sekitar tahun lima puluhan kita hanya kenal Ida Nasution, Walujati (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St. Nuraini (Sani), dan Suwarsih Djojopuspito.
            Ida Nasution ialah seorang pengarang esai yang berbakat. Ida menulis beberapa buah esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi ia kemudian menjadi korban revolusi. Ia hilang ketika dalam perjalanan Jakarta-Bogor (1948).
            Walujati (lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1924) mulai menulis sajak pada masa-masa pertama revolusi. Sajaknya ‘Berpisah’ mendapat pujian dari Chairil Anwar sebagai sajak romantik yang menjadi. Sejak itu ia banyak menulis sajak.
            Pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman berjudul Pujani. Konon masih ada lagi roman yang ditulisnya, tetapi belum juga kunjung terbit.
            St. Nuraini yang lahir di Padang pada tanggal 6 Juli 1930 menulis sajak, cerpen, esai dan terutama menerjemahkan hasil sastra asing. Salah sebuah sajaknya halus dan lembut sekali melukiskan perasannya sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
            S. Rukiah yang lahir di Purwakarta tanggal 25 April 1927 juga menulis sajak. Bahkan dimuat dalam bukunya Tandus (1952), ia juga menulis sebuah roman yang berjudul Kejatuhan dan Hati (1950).
            Sebagai pengarang prosa yang tak pernah ketahuan menulis sajak ialah Suwarsih Djojopuspito (lahir di Bogor tanggal 20 April 1912), ia menerbitkan roman yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, berjudul Buiten het Gareel(di Luar Garis). Buku kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Tujuh Cerita Pendek (1951).  Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954).

2.1.4    Beberapa Pengarang Lain
            Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi pengarang-pengarang lain yang memulai atau semata-mata menunjukkan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945-1953. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya dengan judul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen juga dengan judul Sepanjang Jalan dengan beberapa Cerita Lain (1953). SK. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya dengan judul Kaburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915) menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Kisah Sewajarnya (1952). S. Mundingsari yang nama sebenarnya  Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menerbitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952). Muhammad Dimyati yang kadang-kadang mempergunakan nama samaran Badaruz-zaman (lahir di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpulan cerpennya berjudul Manusia dan Peristiwa (1951). R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950). Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949) dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.
            Ada juga yang mengumumkan buah tangannya yang baru, baik cerpen maupun sajak. Untuk menyebut beberapa nama, misalnya Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli, tanggal 5 Oktober 1920), P. Sengojo atau Suripman (lahir 1926), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh. Ali (lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang kesemuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarta, tanggal 13 Agustus 1924), Sirullah Kaelani yang kadang-kadang mempergunakan nama S.K. Insankamil (lahir di Ciledug, Cirebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowardojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas Kartadinata (lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya 1922) dan lain-lain.
Di bawah ini akan dibicarakan beberapa orang di antara mereka secara sepintas lalu saja.
            A.        P. SENGOJO
            Nama sebenarnya ialah Suripman, lahir didaerah Uangaran, tanggal 25 November 1926.
            Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952-1953-1954 memenuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul umum Pecahan Bertebaran.

B.         MUHAMMAD ALI
            Nama lengkap Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturunan India. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwaranya yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuah kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Sandiwara radio dimuat dalam buku itu berjudul ‘Lapar’.

C.        DODONG DJIWAPRADJA
            Dodong sudah menulis sajak pada sekitar tahun 1948. Sajaknya ‘Cita-cita’ yang dimuat dalam majalah Gema Suasana. Ia dilahirkan di Garut pada tanggal 28 September 1928.

D.        HARJADI S. HARTOWARDOJO
            Harjadi Sulaeman Hartowardojo mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada sekitar tahun 1950. Sajak-sajak yang ditulisnya pada masa-masa itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul Luka Bayang. Harjadi dilahirkan di Prambanan pada tanggal 18 Maret 1930.

2.2       PERIODE 1953-1961
            2.2.1    Krisis Sastra Indonesia
            Setelah Chairil Anwar  meninggal dunia, lingkungna kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdek a‘ seakan-akan kehilangan vitalitas. Asrul Sani yang bebrapa lamanya asyik menulis esai, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demikian pula Rivai Apin, padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan harap yang akan melanjutkan kepeloporan Chairil.
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposium yang diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan Galanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu telah dibahas kesulitan-kesulitan jaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi dan ekonomi. Di antara para pembicara ialah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Dr. J. Ismael, Sutan Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh dan lain-lain. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisi lainnya.
tahun berikutnya, tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposium tentang kesusastraanIndonesia. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gaglnya revolusi Indonesia”. Krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Dalam nomor pertama majalah itu dimuat sebuah esai Soedjatmoko (lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi’. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis.
Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejoeng Saleh dan lain-lain secara tandas disertai dengan bukti-bukti yang sukar untuk dibantah, menolak penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur.
Sitor Situmorang dalam sebuah tulisannya yang berjudul ‘Krisis H.B. Jassin’ dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan krisis ukuran sastra. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang terkemuka bahkan satu-satunya pula ialah H.B. Jassin, maka Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.

2.2.2    Sastra Majalah
Salah satu alasan utama yang dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung di bawah Kementerian P.P. & K berkali-kali mengalami perubahan status. Maka aktivitas sastra terutama hnaay dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah mak karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarang pun lantas hanay mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istlah “sastra majalah”. Istilah ini pertama kali dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya ‘Situasi 1954’ yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah Kompas yang dipimpinnya.
Dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah perasaran tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesustraan Indonesia’. Dalam prasaran itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan ’45. Dalam hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956), tidak bisa sibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengemukakan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini. Karena itu nama-nama yang muncul di sini tidaklah terbatas kepada para pengarang cerpen atau prosa saja, melainkan juga kepada penyair.
Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sanagat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit beberapa nomor, ruangan kebudayaan Genta dalam majalah Merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah Seni (terbit hanya setahun genap), majalah Konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah Budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, di samping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/ Siasat dan Indonesia.

2.2.3    Beberapa Pengarang
                        A.        NUGROHO NOTOSUSANTO
                        Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar dari antaranya dimuat juga dalam majalah yang dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa mendapat kepuasan dala menuis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa. Terutama cerpen dan esai.
                        Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Ketika para pengarang lain hanya menulis cerpen dan sajak, Nugroholah salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyelami situasi jamannya.


B.         A.A. NAVIS
                        Menurut usianya, Ali Akbar Navis yang kalau menulis menyingkat namanya menjadi A.A. Navis itu sebenarnya lebih tepat digolongkan kepada Angkatan ’45. Ia lahir di Padangpanjang 17 Nopember 1924. Ia muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertma yang sekaligus menjadi terkenal berjudul ‘Robohnya Surau Kami’.
                        Kumpulan cerpen Navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964) . Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang luas. Banyak pula yang merupakan sindiran akan tingkah laku dan keimanan tokoh-tokohnya. Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam.
                        Berdasarkan buah tangannya yag nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebgai seorang pengarang Islam.

C.        TRISNOYUWONO
                        Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Tetapi baru pada tahun 1955 cerpennya muncul dalam majalah sastra. Ia meninggalkan penulisan cerpen-cerpen picisannya dan mulai mebulis secara lebih sungguh-sungguh. Kumpulan cerpennya yang pertama Laki-laki dan Mesiu (1957) mmendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958.
                        Di samping itu Trisnojuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain yang berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.

D.        IWAN SIMATUPANG
                        Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Sesudah itu ia menulis cerpen,  drama dan roman. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa.
                        Di antra drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul ‘Bulan Bujur Sangkar’, ‘Taman’, ‘RT Nol/ RW Nol’. Kebanyakan drama sebabak. Cerpen-cerpennya patut disebut ‘Lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebua cerpen yang baik sekali menyelam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar. Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa diantranya berjudul Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968).

E.         TOHA MOHTAR
                        Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpan-cerpan dalam majalah-majalah hiburan dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengujutkan dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul Pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1958.
                        Setelah menulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangandi Surabaya ketika para pemuda mempertahankan dari serbuan tentara sekutu.

F.         SUBAGIO SASTROWARDOJO
                        Meskipun Subagio Sastrowardojo belakangan ini lebih terkenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama pun merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
                        Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyarankan, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. Masih banyak lagi sajak-sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.


G.        MOTINGGO BOESJE
                        Motinggo Boesje yang lahir di Kupangkota, Lampung, tanggal 21 Nopember 1937, hingga sekarang dikenal sebagai pengarang Indonesia yang paling produktif. Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Yaitu ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama-drama lain ditulisnya kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963). Roman-romannya yang mula-mula banyak yang merupakan simbolik perjuangan manusia dalam mempertahankan eksistensinya. Ketika kita membaca roman-roman yang disebutnya roamn trilogi. Trilogi Retno Lestari (1968) misalnya, mempunyai beberapa bagian yang sesungguhnya masih dapat diperbaikinya. Masing-masing roman trilogi itu tebalnya lebih dari 500 halaman cetak.

H.        PARA PENGARANG LAIN
                        Rijono Pratikto (lahir di Tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sajak masih duduk di S.M.P. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Antara tahun 1952 dan tahun 1956 barangkali Rijoni merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen-cerpen permulaan itu kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Laini (1951).
                        S.M. Ardan  yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932) mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajak-sajaknya sebagian dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sorbron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Ardan menulis cerpen-cerpen yang bersuasana puitis. Ardan pernah menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman. Yaitu Nyai Dasima (1965).
            Sukanto S.A. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen, tetapi hanya sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958). Ia kemudian lebih banyak mencurahkan minatnya kepada penulisan cerita kanak-kanak.
            Alex A’xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934), menulis cerpen yang kemudian sebagian dikumpulkan menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956).
            Bokor Hutasuhut (lahir di Balige  tanggal 2 Juli 1934) pertama-tama menulis cerpen-cerpen yang kemudian sebagian dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1963). Sesudah itu ia menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964) dan Tanah Kesayangan (1965).
            Alex L. Tobing (lahir di Surabaya 12 Juli 1934) ialah seorang dokter yang mengisahkan pengalamannya tatkala menjadi ‘mahasiswa’ dalam ‘ perkenalan dengan Harga Manusia’ yang kemudian bersama dengan ‘Pudar Menjelang Kilau’ diterbitkannya dengan judul Mekar Karena Memar (1959).
            Ali Audah (lahir di Bondowoso 15 Juli 1924) lebih terkenal sebagai penerjemah sastra Arab.  Tetapi ia sendiri pun menulis cerpen juga, di antaranya yang dikumpulkannya dalam buku Malam Bimbang (1961).
            Suwardi Idris (lahir di Solok tanggal 10 Nopember 1930) menulis cerpen-cerpen yang kemudian di antaranya dibukukan dalam Isteri Seorang Sahabat (1963) dan Di luar Dugaani (1963).
            Djamil Suherman (lahir di Surabaya tahun 1926) mula-mula menulis sajak, tetapi kemudian lebih mencurahkan perhatiannya menulis cerpen dan roman. Romannya yang berdasarkan fantasi tradisional tentang akhirat berjudul Perjalanan ke Akhirat (1965)
            M. Alwan Tafsiri (lahir di Ngawi tahun 1937) menulis cerpen-cerpen yang kebanyakan dimuat dalam majalah Kisah. Sebagian diantaranya dimuat dalam kumpulannya berjudul Lukisan Dinding (1963).
            Sementara itu para pengarang yang pada periode ini banyak menulis cerpen , dan banyak di antaranya yang baik-baik tetapi belum punya kesempatan untuk diterbitka sebagi buku, antara lain Jusach Ananda (lahir 1934), Idrus Jassin (lahir di Gorontalo tahun 1928),  Amyus Nn. Yang merupakan nama samaran Abdul Muis Nasution (lahir tahun 1926, meninggal 1968), Terbit Sembiring (lahir 1934), Mahbub Djunaidi (lahir tahun 1936), Aris Siswo, Idrus Ismail dan lain-lain.

2.2.4         Beberapa Penyair.
            A.        TOTO SUDARTO BACHTIAR
        Toto Sudarto Bachtir (lahir di Palimanan, cirebon, tanggal 12 Oktober 1929) telah memulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal adalah Ibukota Senja tahun 1951. Tetapi kebanyakan sajak-sajaknya ditulis sesudah tahun 1953, sebagian besar sajak-sajaknya yang telah di kumpulkan dan ditrbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958).
        Dalam sajak-sajaknya yang lain ia berfilsafah tentang nasib, waktu, kemerdekaan, maut dan hidup. Toto juga banyak menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen kedalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemaha-terjemahan cerpennya di kumpulkan dalam Bunglon (1965).

                        B.        W.S. RENDRA
        Rendra yang semula nama lengkapnya Willibrodus Surendra Broto (lahir di solo 7 Nopember 1935). Merupakan penyair Indonesia terpenting di masa ini, ia mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitarb tahun 1954.
        Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu di muat dalam buku pertamanya yang berjudul Balada Orang-orang Tercinta (1957), sajak-sajak sebagian telah di terbitkan dalam Rendra: 4 Kumpulan Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam ‘Kakawin-kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’, dan ‘sajak-sajak dua belas perak’. Sajak-sajaknya di tulis di Amerika antara lain ‘Nyanyian Angsa’, ‘Khotbah’, ‘Blues untuk Bonnie’ dan lain-lain.
        Rendra juga menulis cerpen, sebagian diantaranya sudah diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul Ia Sudah Berpetualang (1963). Antara lain ia telah menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Antara lain menerjemahkan karya penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus Sang Raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shaw berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Perancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890).
        Dalam eksperimen-eksperimennya dalam dunia teater antaranya yang berjudul ‘Bip-Bop’.

                        C.        RAMADHAN K.H
        Ramadhan K.H, lahir si Bandung 16 Maret 1927, tetapi baru tampil namanya sebagai penulis sekitar 1952. Dengan dramanya yema saja (1959). Sajak-sajaknya sendiri yang dituliskan ketika ia baru pulang daari spanyol, kemudian dibukukan dengan judul Priagan Si Jelita (1958). Dan juga romannya yang berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI-UNESCO tahun  1968.
                        D.        KIRDJOMULJO
        Lahir di Yogyakarta tahun 1930 seorang penyair yang banyak menulis sajak. Buku kumpulan sajaknyayang berjudul Romance Perjalanan 1.
        Kirdjomuljo juga menulis drama, drama yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang berjudul “Nona Maryam” yang di cetak satu jilid degan drama buah tangan W.S. Rendra, dua tiga buah lagi pernah dimuat di majalah Budaya Yogyakarta, di antaranya “Penggali intan”.
        Belakanga ini pun ia menulis cerpen dan roman, di antaranya ada yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan Di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang terasa sangat lamban bear gayanya.
                       
                        E.         BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
        Beberapa penyair lai n yang mengumumkan sajak-sajaknya di majalah pada periode ini. Di antaranya Hartojo Andangdjaja (1930), A.D. Donggo (1932), M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), Surachman R.M. (1936), Ayatrohaedi (1939), Masnur Samin (1930), dan lain-lain.

2.2.5    DRAMA
        Setelah beberapa tahun lamanya dunia penulisan drama Indonesia hampi-hampir hanya mengenal Utuy T. Sonanti sebagai tokoh tunggal. Menjelang akhir tahun lia puluhan munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama.
                        A.        NASJAH DJAMIN
        Lahir di Medan pada tahun 1924,tapi kebanyakan di habiskan  di Yogya, dengan karya-karyanya Sekelumit Nyanyian Sunda (1964), Di bawah Kaki Pak Dirman (1967), Hilanglah si Anak Hilang (1963), Helai-helai Sakur Gugur (1964), dan lain-lain.

                        B.        H.M. JURSA BIRAN
        Lahir di Raskasbitung tahun 1933, dengan Dramanya Bung Besar, setelah itu misbach masih masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul “Setengah Jam Menjelang Maut” (1968) yang pernah yang pernah di tayangkan ditelvisi. Romanya Menyusuri Jejak Berdarah (1968).
                       
                        2.2.6    Para Pengarang Wanita
        A.        NH. DINI
        Lahir di semarang tanggal 29 Pebruari 1936, mulai menulis cerpen-cerpen yang di muat dalam majalah Kisah dan lain-lainnya, dengan beberapa buah cerpen yang sudah di bukukan dengan Dua Dunia (1959).
        Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan  sosial yang terjadi di sekelilingnya, Dini juga menerbitkan roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Dini menikah dengan diplomat prancis, mengikuti suaminya yang pernah tinggal di Jepang dan ia menulis roman juga yang berjudul Namaku Hiroko.
    
2.3       PERIODE 1961 SAMPAI SEKARANG
2.3.1    Sastra dan Politik
                        Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik.  Para pengarang zaman sebelum perang banyak yang aktiv dalam kegiatan pergerakan kebangsaan pada masa itu, bahkan ada yang lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang misalnya Muh Yamin dan Roestam Effendi. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersikap a-politis. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan lain lain merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.
                        Juga adanya perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan” Angkatan ’45 sudah mampus” yang berpanhkal pada suatu sikap politik. Ketika itu mereka berpendapat bahwa revolusi 45 sudah diselewengkan dan sudahlah mati. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis, aktif mengadakan polemik.
Dalam polemik tersebut pada tahun 1952 antara Joebar Ajoeb yang menganut paham realisme-sosialis denga Hariadi di pihak yang lain dalam ruang Gelanggang/siasat. Yang menjadi pokok polemik yakni paham “ seni untu seni” dan “seni untuk rakyat” . yang paing bernilai dalam polemik ini karena keduanya menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah terjadi sekitar 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastra dengan Soedatmiko.
Dari peristiwa itu tampak bahwa plemik semacam itu senantiasa terjadi anatar orang yang berpaham realisme-sosialis dengan orang dari lingkungan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’. Karena itu orag-orang ketika Rivai Apin sebagai salah seorang pendiri dan pengasuh ruang Gelanggang dalam warta sepekan Siasat pada tahun 1954 keluar dari sana dan kemudian masuk pada paham realisme-sosialis.
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disebut Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya dalah A.S.Dharta. rupanya pada mulanya Lekra ini belum lagi merupakan organ kebudayaan dari PKI. Aganya baru kemudia setelah PKI kian kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaan, Lekra dengan tegas menganut ‘seni untuk rakyat’ dan tak henti-hentinya menghantam golongan yang berbeda paham  diantaranya” seni untuk seni”.
Sementara itu kedudukan PKI semakin kuat, tahun 1959 Soekarno yang ketika iu menjadi presiden mendekritkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi dan mengajukan ‘Manifesto Politik’(manipol) sebagai dasar haluan negara. PKI semankin mendapat keuntungan , pada satu pihak PKI memberikan angn terhadap Soekarno untuk menjadi diktator dan di pihak lain mengobrakan ketidakpuasan rakyat dengan slogan’tujuh setan desa’ dan ‘tiga setan kota’ dan semacamnya. Semua itu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan yang kemudian terjadi pada tanggal 30 September 1965 namun berhasil digagalkan oleh pemerintah Indonesia.
Bukan hanya dalam bidang politik saja PKI melakukan pengarahan kekuatan secara demonstratif dan masal untuk menyingkirkan lawan-lawannya. Dalam bidang kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh Lekra yang secara simultan bekerja sama dengan Serikat Buruh, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana,, petani dan potensi masyarakat yang lain.
Dalam bidang kebudayaan Lekra melakukan salah satu metode komunisme yang sudah terkenal dimana-mana, yaitu menteror orang atau olongan yang dianggap tidak sepaham, dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang memiliki pemahaman yang berbeda di musnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi partai yang dibubarkan(PSI)  dan Hamka(Masjumi) menjadi sasrannya.Takdir kebetulan sedang berada di Malaysia, juga Idrus dan Balfas, maka mereka segera di capa sebagai pengarang kontra-revolusikarena Indonesia saat itu sedang mengumumkan” konfrontasi” terhadap Malaysia. Hamka di hantam atas karyanya “ Tenggelamnya kapal van der wijc” yang punya persamaan menyolok dengan Majnun Luthfi Al-manfaluthi dijadikan alasan untuk menghancurkan namanya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergnakan, baik disekolah maupun masyarakat.
Pengarang dan seniman kebudayaan diteroe untuk bergabung kepada Lekra atau dihilangkan. Mereka mempraktekan teori untuk membagi orang menjadi kawan atau lawan, teror intensif tersebut btelah menyebabkan banyak budayawan, seniman dan pengarang menggabungkan diri kepada Lekra . Pada tahun 1959 PNI membentuk LKN(Lembaga Kebudayaan Nasional) yang pertama kalinya diketuai oleh Sitor Situmorang. NU membentuk Lesbumi(Lembaga Seniman Budayawan Musim Indonesia) dengan ketua Usmar Ismail,begitu pula Partai-partai lain.
Dengan berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa untuk masuk salah satu kandang, kalau tidak mereka akan menjadi bulan-bulanan Lekra dan PKI, bahkan organisasi yang tidak tunduk pada partai Naskom dipaksa supaya bubar dan memilih salah satu partai Naskom sebagai induk.
2.3.2    Manifes Kebudayaan dan Konperensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia
                        Atas usaha H.B. Jasin dan beberapa orang lain penyelanggara majalah Kisah almarhum, sejak bulan Mei 1961 diterbitkanlah majalah Sastra, sebagai ketua redaksi H.B. Jasin dan semua orang dari majalah Kisah juga bergabung.
                        Pengarang-pengarang cerpen yang dalam Sastra mendapat keleluasaan untuk tampil dan berkembang antara lain, A. Basri Asnin, Kamal Hamzah, B. Jass dan lain-lain. Sedangkan para penyair ialah Isma Sawitri, Goenawan Muhamad, Poppy Hutagalung dan lain-lain.
                        Pada masa kehidupan sekeliling dipaksa untuk mnerima slogan” politik sebagai panglima”. Sastra  menjadi tempat berkumpul orang-orag yang ingin mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Pada tanggal 17 Agustus MANIFES Kebudayaan yang disusun ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta. Manifes ini segrea mendapat sambutan dari seluruh proyek tanah air, para budayawan seniman dan para pengarang yang hidup terpencil dikota-kota lain melihat Manikebu sebagai penyelamat, mereka berlomba-lomba menyatakan dukungan terhadap Manikebu nmelalui majalah Sastra.
                        Adanya Manikebu mempermudah Lekra untuk menghancurkan musuh-musuhnya, Manikebu segera dijadikan sasarannya. Ketika itu pers hampir seluruhnya dikuasai.
                        Sementara itu Maniekbu tak tinggal diam, mereka menyiapkan sebuah komperensi para pengarang yang dinamakan konperensi karyawan pengarang Se-Indonesia(KKPI). Segera kata” Manikebuis” menjadi istilah yang popler untuk menuduh seseorang kontra revolusi. Majalah Satra dituntut untuk dilarang terbit, begitu juga majalah lain yang dianggap golongan Manikebu.
                        Situasi tersebut memberi ciri pada karya sastra yang dihasilkan pada period ini, di tengah sajak, cerpen, dan esai yang menyanyikan kemenangan perjuangan yang ditulis oleh penulis Lekra, timbullah perlawanan para pengarang yang membela martabat manusia. Sajak dan cerpen terutama esai yag ada pada saat iru banyak merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncak dari sastra ini ialah sajak Taufik Ismail, Mansur samin, Slamet Kirnanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demnstrasi mahasiswa pada awal tahun 1966.
                        Sejak tahun 1966 terbitlah majalah Horison byang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Goenawan Moehamad ndan lain-lin, kemudian pada akhir 1967 Sastra pun dihidupkan kembali,samping itu terbitlah majalah Cerpen  yang dipimpin oleh Kassim Dahlan. Kalau dicermati maka tampaklah majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil masa transisi.
2.3.3    Para Pengarang Lekra
                        Orang-orang Lekra disebar untuk menguasai media masa yang secra resmi bukan milik mereka. Pramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua Lekra memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang(Timur) Minggu yang resminya ialah koran Partindo. Melalui media ini dlakukan serangan  terhadap orang atau golongan yang dianggap membahayakan mereka.
                        Penyair Lekra yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid yang kadang-kadang menulis cerpen dan esai, tetapi ia tidak pernah menerbitkan buku sendiri, kecuali dalam bentuk penerbitan bersama yang banyak dilakukan oleh penerbit Lekra berkenaan dengan suatu pokok yang sedang aktual.
2.3.4    Para Pengarang Keagamaan
                        Meskipun partai agama tidak ketinggalan mendirikan lembaga kebudayaan yang berinduk keaanya, namnun pergerakan mereka sangat terbatas, umunya hanya terbatas pada ruangan-ruangan kebudayaan yang menumpang pada koran-koran partainya. Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Krsiren saja, Badan Penerbit Kristen walaupun tak berorganisatoris tak langsung berkaitan, bamun ada ,menerbitkan beberapa buku sajak dan cerita karangan para pengarangan kristen.
                        Dalam karya-karya pengarang keagamaan umumnya agama baru merupakan latar belakang saja, belum lagi jadi masalah. Mereka banyak menulis kisah-kisah dan sejaranh agamanya masing-masing. Masalah ini sudah tidak disinggung walalupun peranan latar belakang sangat kentara.
2.3.5    Sajak-sajak Perlawanan terhadap Tirani
                        Dalam demonstrasi para mahasiswa diseluruh Indonesia menuntut tiga tuntutan(tritura) pada awal tahun 1966 terdiri dari bubarkan PKI, ritul kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Banyak pengarang dan penyair turut serta secara aktiv nmaun bukan dalam bentuk demonstrasi. Mereka menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani, dan sajak itu banyak kemudian disebarkan kepada demonstran, diterbitkan dengan stensil. Diantaranya yang diterbitkan adalah Tirani dan  Bentengi   karya Taufik Ismail, yang kmudian diterbitkan Tirani(1966) dan  Benteng (1968).
                        Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu melahirkan H.B. Jassin memproklamasikan lahirnya ‘angkatan 66’ melalui sebuah tulisanya dalam majalah Horizon 1966), dalam tulisan itu Jassin mengatakan ‘khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial kemudian protes politik’ lebih lanjut ia mengatakan bahwa tiap 15 ayau 25 timbul generasi baru dan dapatlah diramalkan bahwa tahun 1980 akan datang lagi satu angkatan baru, tahun 2000 dan seterusnya.


            2.3.6    Beberapa Pengarang
                        Buku-buku prosa yang menjulang pada periode ini  umumnya buah tangan para pengarang yang sudah kita kenal pada periode sebelumnya. Secara sepintas kan disinggung juga tentang beberapa pengarang prosa yang muncul atau terutama berkembang dalam peride ini.
                        B. Soelarto (lahir pada tanggal 11 September 1936 di Purworejo) menulis cerpen dan drama. Cerpen-cerpennya penuh dengan protes dan ejekan. Dramanya Domba-domba Revolusi mendapat reaksi yang hebat dari orang-orang Lekra.
                        Bur Rasuanto (lahir di Palembang pada tanggal 6 April 1937) kecuali menulis cerpen, juga menulis sajak dan esai bahkan roman. Cerpen-cerpennya dalam Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajak yang ditulisnya semasa demontrasi awal tahun 1966 diterbitkan (dengan stentil) berjudul Mereka Telah Bangkit. Kemudian diterbitkan dengan tercetak di Medan (1967).
                        A. Bastari Asnin (lahir tanggal 29 Agustus 1939 di Muaradua, Palembang) menulis cerpen-cerpen yang di antaranya pernah mendapat hadiah tahunan majalah majalah Sastra tahun 1961 dan 1962. Kemudian di terbitkan berupa buku dalam dua kumpulan, yaitu Di Tengah Padang (1962) dan Laki-laki Berkuda (1963). Sekarang Bastari bekerja sebagai anggota redaksi Hrian Kami.
                        Satyagraha Hoerip Soeprobo (lahir di Lamongan tanggal 7 April 1934) banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan. Ia banyak tertarik untuk melukiskan kehidupan politikus dalam karangan-karangannya. Roman Sepasang Isteri (1964). Pengarang sendiri memberi keterangan di bawah judul “novel perjuangan politik”. Tahun 1969 Satyagraha Hoerip muncul sebagai editor sebah buku Antologi Esei Sekitar Persoalan-persoalan Sastra yang memuat antara lain esai buah tangan Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman dan lain-lain.
                        Gerson Poyk (lahir  di Namodale, pulau Roti, tanggal 16 Juni 1931) ialah seorang pengarang Kristen yang dalam cerpen-cerpennya banyak menokohkan manusia-manusia ynag hendak mengamalkan ajaran Kristen. Bukunya yang pertama berupa sebuah roman pendek berjudul Hari-hari Pertama (1964). Dalam cerpen-cerpennya terasa humor dan kemampuan berkelakar yang jernih dan asli. Ia sekarang menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.
                        Sementara itu beberapa pengarang lain telah pula berhasil menerbitkan buah tangannya berupa buku. Antaranya Ras Siregar telah menrbitkan sekumpulan cerpen berjudul Harmoni (1965) dan sebuah roman Terima Kasih (1969). L. C. Bach yang pada tahun 1954 pernah mendapat hadiah sastra dari Gelangan / Siasat setelah lama tidak muuncul kemudian terbit dengan sebuah roman pendek berjudul Hati Membaja (1964). Pornawan Tjondronagoro menrbitkan Mendarat Kembali (1962) dan  Mabuk Sake (1963). Rosida Amir menerbitkan sekumpulan cerpen Jalan yang Tak Kunjung Datar (1962). Zen Rosdy menerbitkan sekumpulan cerpen lucu dengan judul Cinta Pertama (1964). Matia Madijah menulis sebuah roman berjudul Kasih di Medan Perang (1962).
                        Kecuali itu dalam majalah Sastra dan Horison kita lihat pula beberapa pengarang baru yang mengumumkan karya-karyanya berupa cerpen. Misalnya Zulidahlan, Umar Kayam (lahir tahun 1932), Danarto, Muh. Fudoli, Julius Sijaranamual, dan lain-lain.

2.3.7    Beberapa Penyair
A.        TAUFIQ ISMAIL
                        Sebenarnya Taufiq Ismail (lahir tahun 1937 di Bukittinggi, tetapi dibesarkan di Pekalongan) telah mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpn dan esai-esainya sejak tahun 1954. Tetapi baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke muka, ketika sajak-sajak yang ditulisnya dengan nama samaran Nur Fadjar diumumkan dengan judl Tirani di tengah-tengah demontrasi para mahasiswa dan pelajar menyampaikan “tritura”.
                        Peristiwa di Sekretariat Negar direkamkan dalam sajaknya ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segera’ dan peristiwa hari-hari kemudiannya, tatkala terjadi pembunuhan terhadap Arif Rachman hakim direkamkan dalam sajak-sajaknya ‘Karangan Bunga’, ‘Selemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’ dan ‘Seorang Tukang Rambutan Pada Isterinya’.
                        Sajak-sajak itu kebanyakan hanya merupakan snapshot peristiwa-peristiwa saja. Tetapi meskipun demikian, tak bisa dikatakan tidak bernilai. Taufiq memperhatikan nilai-nilai estetik sajak-sajaknya, misalnya sajak ‘Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya’.
                        Belakangan ini Taufiq, kecuali duduk sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta dan anggota redaksi majalah Horison, banyak menulis kolom (sebagai kolumnis) dalam berbagai harian di Jakarta. Ia pun masih banyak menulis sajak dan cerpen serta esai-esai.

B.         GOENAWAN MOHAMAD
                        Goenawan Mohamad lebih dikenal sebagai seorang penulis esai. Esai-esainya tajam dan ditulis dengan penu kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair yang berbakat. Produktif pula, sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Tetapi ia pun tidak menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Hal itu tampak dalam esai-esainya dan juga dalam sajak-sajaknya.
                        Goenawan lahir di Pekalongan pada tahun 1942. Kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam Manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn., sajak-sajaknya belum diterbitkan sebagai buku. Juga esai-esainya masih berserakan dalam lembaran-lembaran majalah yang memuatnya pertama kali.

C.        PENYAIR-PENYAIR LAIN
                        Saini K. M. (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah sekitar tahun enam puluh. Kecuali menulis sajak Saini banyak juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan. Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya Nyanyian Tanah Air (1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.
            Sapardi Djoko Damono menulis sajak sangat berlimpah-limpah. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul duka Mu abadi.
                        Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sebenarnya sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Kecuali menulis sajak ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni umumnya.
                        Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah.                          Demikian pula Piek Ardijanto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W. M., Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt., dan lain-lain.
                        Beberapa orang penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F. menerbitkan Di Bawah Fajar Menyingsing (1965), dan Rachnat Djomoko Pradopo (lahir 3 November 1939 di Klaten) menerbitkan Matahari Pagi di Tanah Air (1967) dan Salamet Kirnanto menerbitkan Kidung Putih, puisi alit (1967).

2.3.8    Para Pengarang Wanita                      
                        Jumlah para pengarang wanita kita hingga sekarang belum juga banyak dalam masa terakhir kini kita menyaksikan munculnya nama baru. Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Ernisiswati Hutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soenharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro, dan lain-lain.
                        Titie Said atau nama lengkapnya Ny. Titie Raja Said Sadikun ialah seorang pengarang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 11 Juli 1935. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Perjuangan dan Hati Perempuan (1962).
                        S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya Dua Kerinduan (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih hanya harapan untuk masa depan.
                        Sugiarti Siswadi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya Sorga di Bumi (1960).
                        Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif.
                        Enny Sumargo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menerbitkan sebuah roman berjudul Sekeping Hati Perempuan (1969).
                        Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul Seraut Wajahku (1961).
                        Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberi judul Kwatrin terdiri dari lebih seratus buah, sedang menunggu penerbitannya.
                        Toeti Heraty Noerhadi yang kalau menulis menggunakan nama Toeti Heraty, dilahirkan di Bandung 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horizon. Ia merupakan seorang Sarjana Psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.

2.3.9    Drama
                        Kegiatan di dalam pementasan drama kian meningkat juga berbeda dengan penulisan drama-drama pada masa sebelumnya, yang biasanya lebih dimasukkan sebagai drama bacaan penulisan drama-drama baru itu lebih erat hubungannya dengan pementasan.
                        Muhammad Diponegoro (Lahir di Yogyakarta pada tanggal 28 Juni 1928) yang merupakan ketua grup Drama Teater Muslim di Yogyakarta banyak menulis lakon-lakon yang diambilnya dari sejarah dan cerita-cerita islam. Antara lain ia menulis Iblis, dan Surat pada Gubernur.
                        Yang banyak pula menulis naskah-naskah drama yang berdasarkan kisah-kisah islam ialah M. Yunan Helmy Nasution. Dia memimpin Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI) dan telah menulis dan mementaskan drama-drama Iman dan lain-lain.
                        Saini K.M. yang namanya sudah disebut sebagai penyair, juga menulis drama pementasan Akademi Teater dan Film serta Teater Perintis Bandung. Ia banyak mengambil kisah-kisah lama yang dikerjakan menjadi drama-sajak, antara lain Prabu Geusan Ulun yang telah berkali-kali dipentaskan.
                        B. Soelarto yang sudah dikenal dengan dramanya Domba-domba Revolusi kadang-kadang juga mengumunkan dramanya yang baru dalam majalah-majalah di Jakarta.
                        Yang pernah berhasil memuatkan beberapa dari drama-drama yang ditulisnya ialah Arifin C. Noer, yang juga aktif dalam lapangan teater. Ketika di Yogyakarta ia aktif dalam Teater Muslim dan grup-grup drama lain.
                        Arifin dilahirkan di Cirebon pada tahun 1941 dan sejak di SMP Cirebon sudah tertarik pada kesenian. Dramanya Matahari di sebuah Jalan Kecil dan Nenek Tercinta mendapat hadiah sayembara penulisan drama Teater Muslim 1963.

2.3.10  Esai
                        Penulisan kian hari ternyata kian mendapat perhatian para pengarang kita. Terutama Iwan Simatupang dalam esai-esainya banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-perspektif baru.
                        Sayanglah bahwa esai-esai itu hampir semuanya terbenam dalam majalh-majalah yang pertama kali memuatnya. Kecuali Jassin, hampir semuanya tidak pernah berhasil menerbitkan esai-esainya menjadi buku. Sekumpulan esai mengenai persoalan-persoalan sastra telah diterbitkan oleh Satyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul Antologi Esai Sekitar Persoalan Sastra (1969).
         


















   DAFTAR PUSTAKA

                  Rosidi, Ajib.1986.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:Percetakan Bina                              Cipta.
                                                                                                                                                                                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar