BAB I PEMBAHASAN
1.1 Periode 1900-1933
1.1.1 Balai
Pustaka.
Pada
abad ini bisa di bilang periode kelahiran, bermula pada tahun 1848 pemerintah
jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk memnggunakan uang sebesar f 25.000 per tahun untuk membangun
sekolahan sekolahan. Dari didirikanya sekolah ini meningkatkan minat membaca
dalam bahasa Belanda, bangsa indonesia mulai faham sebagai bangsa yang dijajah.
Lalu
munculah beberapa surat kabar, misalnya pada abad ke-19, di Surabaya terbit
surat kabar bintang timoer (mulai
pada tahun 1862), di Padang terbit pelita
ketjil (tahun 1882), lalu di Jakarta terbit Bianglala (tahun 1867).
Lalu
pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandshe School en Volkslectur) yang pada tahun
1917 berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantor
voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka.
Tokoh tokoh yang terkenal pada tahun ini antara lain
ialah :
1.
Raden
mas (Djokonomo) Tirto Adhisurjo (1875-1916), dengan karya yang berjudul busono (1910) dan Nyai Permana (1912).
2.
Mas
Marco Martodikromo dengan roman-roman nya, Mata
Gelap (1914), Studen Hijau (1919),
Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924).
3.
Semaun
menuliasroman yang berjudul Hikayat
Kadiroen (1924).
4.
G.Francis
menulis kisah Nyai Dasima (1924).
5.
Eduard
Douwes Dekker atau Multatuli (1820-1887) dengan bukunya yang berjudul Max Havelaar.
6.
D.K.
Ardiwinata (1866-1947) terbit buku yan berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda).
7.
Merari
Siregar bukunya yang berjudul Azab dan
Sengsara Anak Gadis (1920).
8.
Marah
Rusli yang berjudul Siti Nurbaya (1922).
9.
Muhammad
Kasim roman yang berjudul Muda Teruna (1922)
1.1.2 Sajak-sajak Yamin dan Roestam Effendi.
Dalam
majalah Jong Sumatra tahun 1920
dimuat sebuah sajak sembilan seuntai buah tangan pemud calon plitikus bernama
Muh. Yamin. Pada tahun 1922 sajak “Tanah Air” di terbitkan bersama tambahannya
menjadi sebuh buku kecil yang berjudul “Tanah Air” juga. Lalu pada tahun 1928
menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia,
Tumpah Darahku. Penerbitan ini bertepatan dengan kongres pemuda yang
melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal.
Penyair
yang sezaman dengan Yamin yang sadar akan tugasnya untuk berjuang yaitu Roestam
Effendi (lahir 1902), Roestam menulis
sebuah buku yang pertama berjudul Bebasari
(1924) dan yang kedua berjudul Pecikan
Permenungan (1926).
1.1.3 Balai Pustaka dan Roman-romannya.
Roman
Azab dan Sengsara buah tangan Merari
Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk
dan berbagai adat yang tidak lagi sesuai dengan zaman modern, menceritakan
tentang kawin paksa, roman ini banyak memberi pesan-pesan moral.
Demikian
pula dengan Muda Teruna karya M.
Kasim tahun 1886, tapi roman yang paling
berhasil adalah yang berjudul Siti
Nurbaya karya Marah Rusli.
Penyair-penyair
yang terkenal pada periode ini antara lain :
1.
Marah
Rusli (1889) dengan karyanya Siti
Nurbaya, La Hami (1952) dan Anak dan
Kemenakan (1956).
2.
Adinegoro
(Djamaluddin), karyanya yang berjudul Darah
Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928).
3.
Abas
Soetan Pamoentjak karyanya berjudul Pertemuan
(1927).
4.
Nur
Sutan Iskandar karyanya berjudul Salah
Pilih (1928).
5.
Add.
Ager dengan judul Cinta yang Membawa Maut
(1926).
6.
H.M.
Zainuddin romannya yang berjudul Jeumpa
Aceh.
7.
Tulis
Sutan Satiberjudul Tak Disangka (1929).
8.
Sutan
Takdir Alisjahbana yang berjudul Dirundung
Malang (1929).
9.
Abdul
Muis debngan karyannya yang berjudul Salah
Asuhan (1928).
1.1.4 Sanusi Pane
Sanusi
pane lahir pada tahun 1905 dan wafat pada tahun 1968, mula-mula menulis
sajak-sajak dalam majalah, baik di jakarta maupun dib padang, bukunya yang
pertama berupa kumpulan prosa lirik yang berjudul Pancaran Cinta (1926), kemudian di susul oleh kumpulan sajak Puspa Cinta (1927).
Dari
sajak-sajaknya tampak bahwa sanusi pane menaruh banyak perhatian kepada
sejarah, misalnya dalam sajak yang berjudul “candi mendut”, dan juga dari
drama-drama yang ditulisnya, ada lima buah drama yang ditulisnya dan empat di
antaranya di ambil dari sejarah jawa, dua di antaranya ditulis dlam bahasa
belanda yaitu, Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1932), yang
ditulis dalam bahasa indonesia ialah Kertajaya
(1932) dan Sendhyakala ning Majapahit
(1933). Drama yang terakhir ditulisnya adalah Manusia Baru merupakan satu-satunya dramanya yang mengambil
masyarakat modern sebagai tempat berlakunya cerita. Tetapi itu pun tidak
terjadi di Indonesia, melainkan di India.
Perhatiannya
kepada sejarah menyababkan ia menulis buku Sejarah
Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Dan
minatnya kepada sastra lama menyebabkan ia menerjemahkan Arjuna Wihawa (1948) dari bahasa kawi fdan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1945). Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 2 Januari
1968.
1.2 PERIODE 1933-1942
1.2.1 Lahirnya Majalah ‘Poedjangga Baroe’
Sejak sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan antaranya
juga yang memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak serta karangan-karangan
tentang sastra seperti majalah Sri
Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka
(1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926),
dan lain-lainnya. Tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk
menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesustraan belum juga terlaksana.
Pada tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933),
mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi
bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Pada tahun 1932 itu pula Sutan
Takdir Alisjahbana yang ketika itu bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubrik
‘Menuju Kesusastraan Baru’ dalam majalah Pandji
Poestaka.
Pada tahun 1933, Armijn
Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan
1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah
kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah
menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal
masyarakat umum” dan sejak 1936 bunyinya berubah pula menjadi “pembimbing
semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Majalah Poedjangga Baroe menjadi tempat
berkumpul kaum budayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia pada masa itu.
Berturut-turut dalam lingkungan majalah itu kita saksikan munculnya nama-nama
Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr.
S. Muh. Sjah, Dr. Ng. Poerbatjaraka, W.J.S. poerwadarminta, H.B. Jassin dan
lain-lainnya sebagai anggota redaksi. Nama-nama itu silih berganti, kecuali
Sutan Takdir Alisjahbana yang sam[ai pun masa sesudah perang ketika majalah itu
diterbitkan kembali, tetap duduk memegang kemudi redaksi.
Majalah ini terbit
dengan setia, meskipun bukan tanpa kesulitan, berkat penegorbanan dan keuletan
Sutan Takdir Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya sekitar 500 eksemplar saja
setiap terbit, dan langganan yang membayar tetap hanya sekitar 150 orang.
Kerugian ditanggung oleh kantong Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane.
Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poedjangga Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap
‘kebarat-baratan”. Kelahiran majalah Poedjangga
Baroe yang banayak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan
itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Kebenarannya menandaskan bahwa bahasa
Indonesia bukanlah ahsa Melayu, menimbulkan berbagai reaksi. Polemik golongan
pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, karena
gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga
mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup
kemasyarakatan terjadi polemik yang seru. Sebagian dari polemik mengenai
kebudayaan itu kemudian dikumpulkan oelh Achdiat K. Mihardja dan diterbitkan
sebagai buku dengan judul Polemik
Kebudayaan (1949).
1.2.2 Tokoh-tokoh Pujangga Baru
A. SUTAN
TAKDIR ALISJAHBANA
Motor dan
pejuang bersemangat gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana (lahir
di Natal pada tahun 1908). Ia telah sejak tahun 1929 muncul dalam pangung
sejarah Indonesia, yaitu ketika menerbitkan romanya yang pertama berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini
diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roamn
kedua yang ditulisnya berjudul Dian yang
Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu
daripada Layar Terkembang dan dimuat
sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka, tetapi diterbitkan
sebagai buku. Tiga puluh tahun kemudian konon Takdir menulis sebua roman pula
berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru) yang
diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60.
Layar
Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting. Roman ini
jelas bukan roman sekedar bacaan perintang waktu, melainkan sebuah roman
bertendensi. Roman ini biasanya dianggap sebagai salah satu roman terpenting
yang terbit pada tahun tiga puluhan, merupakan salah satu karya terpenting pula
dari para pengarang pujangga baru. Takdir terkenal sebagai penulis esai dan
sebagai pembina bahasa Indonesia. Oleh Ir.S. Udin ia pernah disebut sebagai
“insinyur bahasa Indonesia”. Atas inisiatif Takdir melalui Poedjangga Baroe-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan
gerakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah
menerbitkan dan memimpin majalah Pembina
Bahasa Indonesia (1947-1952). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal
perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berkenaan
dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Pejuang dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).
Sajak-sajak yang ditulisnya
dekat setelah kematian istrinya yang pertama, diterbitkan sebagai nomor khusus
majalah Poedjangga Baroe berjudul Tebaran Mega (1936). Ia pun menyusun dua
serangkai bunga rampai Puisi Lama
(1941) dan Puisi Baru (1946) dengan
kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran
masyarakatnya masing-masing. Sastra lama sebagai pancaran masyarakat lama dan
sastra baru sebagai pancaran masyarakat baru. Perubahan masyarakat itu
menyebabkan perubahan puisi dan sastranya pula.
B. ARMIJN
PANE
Organisator pujangga
baru ialah Armijn Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (lahir
di Muarasipongi pada tahun 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran
(STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra,
maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra barat) di solo. Kemudian ia bergerak di
suratkabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan
sekolahnya, Amir Hamzah, menerbikan majalah
Poedjangga Baroe.
Armijn terkenall
sebagai pengarang roman Belenggu
(1940) yang terbit pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe. Roman ini mendapat reaksi hebat, baik dari yang
pro dan kontra terhadapnya. Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang
berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu
banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan di belakang
dingding-dingding kesopanan. Tetapi keributan itu tidak menghalangi jalan roman
ini untuk menjadi roamn terpenting yang ditulis para pengarang pujangga baru.
Belenggu
ialah
sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskannya bukan gerak-gerak lahir
tokoh-tokaonya, tetapi gerak-gerik batinnya. Sebelum menulis romannya itu,
Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang
Tiada Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototip buat
romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya
bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan
judul Kisah Antara Manusia (1953).
Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judl Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor
istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939).
Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan terbit di bawah
judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak
pula menuls esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah,
belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesia Literatuur (1949).
Gaya bahasa Armijn
sangat bebas dari strukutur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun
lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya.
Inilah terutama yang membedakan Armijn denagn para pengarang sejamannya.
C. AMIR
HAMZAH
Amir Hamzah (1911-1946)
ialah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera Timur. Ia pergi sekolah
ke jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiyai oleh
pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam
kegiatan-kegiatan gerakan kebangsaan. Ia pun bersama dengan Sutan Takdir dan
Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga
Baroe. Tetapi kemudian harus meniggalkan semuanya itu karena mmendapat
peangilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah
seorang putri Sultan Langkat.
Dalam sajak-sajaknya
baik yang dimuat dalam Buah Rindu
maupun yang dimuat dalam Nyanyian Sunyi, Amir
banyak mempergunakan kata-kata lama, yang diambilnya dari khazanah bahasa
Melayu dan Kawi, dan kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama
bahasa-bahasa Melayu, jawa dan Sunda. Misalnya saja dalam sajak yng berjudul
‘Buah Rindu’.
Isi sajak Amir
kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Kesedihan itu menyebabkan
timbulnya rasa sunyi, pasrah diri. Tetapi keputusasaan itu setelah melampui
masa kesepian dan kebimbangan, dan setelah menguji keraguan da kewaswasannya
sendiri, akhirnya menemukan kedamaian dalam Tuhan yang disebutnya. Kedamaian
dan keikhlasan itu dimuat sebagai sajak terkahir dalam Nyanyi Sunyi.
D. J.E
TATENGKENG
J.E Tatengkeng
(1907-1968) kelahiran Sangihe dan beragama Kristen ini merupakan seorang yang
taat, bahakan ketika anaknya meninggal selagi bayi, ia segera menganggapnya
sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur
oleh-Nya, seperti dalam sajaknya ‘Anakku’. Sajak itu bersama dengan sejumlah
sajak lain diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Rindu Dendam (1934). Isi umumnya merupakan sajak-sajak
kerindudendaman penyair terhadap Yang Satu, Tuhan Yang Mahaesa.
Rindu
Dendam ialah satu-satunya buku J.E Tatengkeng yang pernah
terbit. Tetapi sebenarnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih
berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe. Kecuali sajak, juga kritik-kritik dan
esai-esainya penting, terutama karena sikapnya yang tegas dan jujur. Ia
tergolong kepada pengarang pujangga
baru, berasal dari Sulawesi yang selamanya tidak pernah hidup di jakarta.
Justru karena itulah maka buah tanganya menarik. Bahasanya, misalnya, bukanlah
bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau. Struktur puisinya pun,
dibanding kan dengan kawan-kawan seangkatnya yang kebanyakan berasal Sumatera,
paling bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi Melayu
lama lainnya.
E. ASMARA HADI DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA
BARU YANG LAIN
Di antara para penyair yang sajak-sajaknya
sering dimuat dalam majalah Poedjangga
Baroe, banyak yang sesungguhnya
menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan tetapi tidak
mereka lakukan. Di antaranya ialah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama
samaran H.r atau Ipih, A.M. Daeng Myala (nama samaran A.M Thahir), Mozasa (nama
samaran Muhammad Zain Saidi), M.R. Dajoh dan lain-lain.
Sajak-sajak
Asmara Hadi yang nama sebenarnya Abdul Hadi (lahir di Bengkulu 1914) sebagian
penuh romantik dan kesedihan karena ditinggal mati oleh kekasihnya yang
pertama, Ipih – yang untuk berapa lama dipakainya sebagai nama samaran. Dan
dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan.
Luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya itu oelh Asmara Hadi malah
dijadikan sumber semangat berjuang yang tak kunjung padam.
A.M.
Thahir (lahir di ujung pandang 1909) yang kalau menulis mempergunakan nama
samaran A.M. Dg. Myala kecuali dalam Poedjangga
Baroe, sajak-sajaknya juga dimuat dalam Pandji
Poestaka dan lain-lain. Sesudah perang ia masih juga menulis dan ada
sajak-sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti
majalah Indonesia. Pada sajaknya yang
dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti majalah Indonesia. Pada sajaknya ada
kecenderungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh. Misalnya dalam
sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.
Penyair
yang juga menaruh minat kepada pelukisan kehidupan si kecil ialah M.R. Dajoh
(lahir di Airmadidi, Minahasa 2 November 1909). Ia pertama-tama menulis sajak
dalam bahasa Belanda yang sebagian telah dihimpunkannya dalam Syair Untuk A.S.I.B (1935) yang kemudian
dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Moehammad
Zain Saidi (lahir di Asahan, bulan Oktober 1913) kalau menulis mempergunakan
nama samaran Mozasa. Ia beberapa lamanya hidup menjadi guru di Kisaran, ketika
mana ia mulai menulis sajak. Sajak-sajaknya banyak melukiskan kegembiraan
menghadapi alam. Sajaknya sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra.
A.
Rivai (lahir di Bonjol, Sumatera Barat, tanggal 1 Juli 1876) juga kalau menulis
selalu mempergunakan nama samaran, yaitu Yogi. Namanya telah muncul sebelum
majalah Poedjangga Baroe terbit,
yaitu dalam Sri Poestaka tahun 1930
ketika ia mengemumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Puspa Aneka diterbitkannya sendiri, setahun kemudian, tahun 1931.
Tetapi ia biasanya tergolong kepada kepada penyair pujangga baru, karena
sajak-sajaknya pun banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe.
1.2.3
Para Pengarang Balai Pustaka
A. NUR
SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar
(lahir di Maninjau tahun 1893) ialah pengarang Balai Pustaka dalam arti yang
sesunguhnya. Karena minat dan perhatiannya kepada dunia karang-mengarang, meninggalkan
kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai Pustaka. Romannya yang pertama
berjudul Apa Dayaku karena Aku Perempuan
(1922) diterbitkan oleh sebuah penerbit swasta. Tetapi buku-bukanya yang
kemudian semuanya (pertama kali) diterbitkan oleh Balai Pustaka. Bukunya yang
kedua ialah sebuah roman pula, yang dikerjakannya dari naskah Abd. Ager,
berjudul Cinta yang Membawa Maut (1928).
Bukunya yang pertama yang mulai menarik hati ialah Salah Pilih (1928). Buku Sutan Iskandar yang berikut ialah Karena Mentua (1932)yang merupakan suatu
roman yang kehidupan rumah tangga yang terlalu dirongrong oleh pihak mertua,
sehingga mengalami berbagai krisis. Roman karangan Nur Sutan Iskandar yang
terpenting ialah Hulu balang Raja
(1934), yang merupakan sebuah roman sejarah yang di kerjakan berdasarkan sebuah
disertasi H. Kroeskamp De Westkust en
Minangkabau (1665-1668) (Pantai Barat
dan Minangakabau, 1665-1668 terbit 1931). Roman karangan Nur Sutan Iskandar
yang berikut ialah Katak Hendak Jadi
Lembu (1935) yang mengambil tempat berlakunya di kalangan priyayi Sunda di
Sumedang. Roman Cinta Tanah Air (1944) yang ditulis Sutan Iskandar pada jaman Jepang, merupakan
suatu kegagalan dan hanya merupakan suatu roman propaganda Jepang yang murah
saja. Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga di sini ialah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952). Keduanya merupakan
kengangn otobiografis.
B. I GUSTI NJOMAN PANDJI TISNA
Dalam tahun 1935 oleh Balai pustaka diterbitkan sebuah
roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual
Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat
feodal di Bali. Buka ini dikarang oelh I
Gusti Njoman Pandji Tisna yang kemudian menjadi Anak Agung Pandji Tisna, putera
bangsawan Bali lahir di Singaraja tahun 1908. Roman ini ialah roman pertama
yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang ditulis oleh putera Bali sendiri
dalam bahasa Indonesia. Dibandingkan dengan roman-roman yang ditulis oleh
pengarang kelahiran Sumatera, roman buah tangan Pandji Tisna ini terasa lebih
hidup dan lebih cepat geraknya. Tokoh-tokohnya pun lebih keras dan kejam. Roman
ini kemudian disusul oleh roman Pandji Tisna yang kedua, berjudul Sukreni Gadis Bali (1936) yang juga
melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam. Pandji Tisna memang
terkenal sebagai seorang putera Bali yang mempunyai cita-cita hendak mengubah
keadaan masyarakat Bali yang terbelakang dan menyedihkan.
Masalah hukum karma dikemukakan pula oleh Pandji Tisna
dalam romannya yang ketiga berjudul I
Swasta Setahun di Bedahulu (1938). Di samping ketiga roman yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka itu. Pandji Tisna masih menerbitkan roman pula. Pada masa
sebelum perang, di Medan terbit romannya yang berjudul Dewi Karuna (1938). Dan sehabis perang ia menrbitkan sebuah roman
pula berjudul I Made Widadi ( Kembali
Kepada Tuhan ). Roman yang terbit tahun 1954 ini dikarang penulisnya setelah memeluk agama Kristen.
C. BEBERAPA PENGARANG LAIN
Masih ada beberapa pengarang lagi yang buah tangannya
banayak diterbitkan oleh Balai Pustaka. Di sini akan dibicarakan selintas kilas
tentang mereka dan buah tangan mereka yang penting.
Tulis Sutan Sati telah
menerbitkan buku sejak 1928, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang merupakan romannya yang pertama.
Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan
Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St. Pamuntjak dalam bahasa
Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia. Ia pun menulis dua buah syair. Yang
pertama berjudul Syair Siti Marhumah yang
Saleh (1930) dan yang kedua Syair
Rosina (1933) yang dikerjakannya berdasarkan suatu kisah yang benar-benar
terjadi di kota Betawi, dipetik dari buah karangan seorang wartawan terkenal
yang bernama F.D.J. Pangemanan. Di samping itu ia masih menulis tiga buah roman
lagi, yaitu Tak Disangka (1929), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).
Paulus Supit seorang
pengarang berasal dari Manado menulis sebuah roman tentang perjuanagan sebuah
keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan,
berjudul Kasih Ibu (1932). Buku ini
menarik karena daerah asal pengarangnya dan yang dilukiskannya pun ialah
kehidupan sebuah kelaurga sederhana di Tomohon.
Aman Dt. Madjoindo (lahir
pada tahun 1896 di Solok) yang lebih terkenal sebagai pengarang buku bacaan
kanak-kanak, ialah seorang pengarang yang namanya tak bisa dilepaskan dari
Balai Pustaka. Pada tahun tiga puluhan ia menulis bebrapa buah roman, antara
lain yang berjudul Menebus Dosa (1932).
Ia pun menulis beberapa buah buku berupa syair, antranya yang berjudul Syair si Banso ( Gadis Durhaka) terbit
1931, Syair Gul Bakawali (1936) dan lain-lain.
Bersama dengan Hardjosumarto yang berasal dari Jawa, Aman mengerjakan dua buah
roamn yaitu Rusmala Dewi (1932) dan Sebabnya Rafi’ah Tersesat (1934).
Suman Hasibuan atau lebih
terkenal sebgai Suman Hs. (lahir di Bengkalis 1904) terkenal karena gaya
bahasanya yang lincah ringan dan cerita-ceritanya yang mirip kepada cerita
detektif. Ia menulis beberpa roman, antaranya yang berjudul Kasih Tak Terlarai (1929), hal mana
lebih jelas dalam cerpen-cerpennya yang kemudian dibukukan dengan judul Kawan Bergelut (1938). Di luar Balai
Pustaka, Suman menrbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).
Menarik ialah sebuah roman
karangan Habib St. Maharadja berjudul Nasib
(1932). Roman ini mengisahkan tentang seorang pemuda Minagkabau yang mengembara
ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, namun demikian seluruh roamn
ini bersuasana hikayat.
Roman yang mearik pula
ialah karangan haji, berjudul Pembalasan (1935)
dan Karena Kersndahan Budi (1941).
Haji Said Daeng Muntu yang kalau menulis memakai nama H.S.D. Muntu ialah seorang pemimpin
Muhammadiyah yang terkenal di Sulawesi. Ia ketika masih kecil ikut dibuang
bersama orangtuanya ke Sumatera Barat. Pembalasan
merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah
Goa ketika daerah ini mulai dikuasai oleh Belanda.
Menjelang Jepang masuk, Balai
Pustaka menerbitkan sebuah roman yang merupakan nyanyian kemenangan kaum muda
terhadap kaum kolot. Roman itu berjudul Andang Teruna (1941), ditulis oleh seorang pemuda Jawa bernama Soetomo
Djauhar Arifin (lahir 1916 di Madiun, meninggal 1959 di Jakarta).
1.2.4 Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya
tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal dan paling
penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama samaran Sariamin (lahir di
Talu, Sumatera Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak.
Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak
Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937).
Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga
Baroe dan Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga mengarang
roman ialah Hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais
(1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman
yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan
Mestika (1935).
Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968)
masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim di
samping itu menulis pula sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun
menerjemahkan Angin Timur Angin Barat
buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah
Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892). Di samping itu ia pun banyak
menerjemahkan buku-buku lain.
Pada saat-saat menjelang Jepang datang,
muncul pula Maria Arain (dilahirkan di Bengkulu tahun 1920) yang menulis
sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe,
tetapi peranannya lenih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan
mengumumkan bebrapa prosa lirik yang simbilistis.
1.2.5 Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun dua
puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh
M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji
Poestaka, dibukukan dengan judul Teman
Duduk. M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922,
yaitu dengan romannya yang pertama Muda
Teruna.
Tidak
banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs. Yang
kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang
ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberinya judul Kawan Bergelut (1938).
Kedeihan sebagai motif penulisan
cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul Karim ‘Amrullah yang lebih
terkenal sebagai Hamka (lahir Pebruari 1908 di Maninjau) seperti yang
dikumpulkan dalam Di dalam Lembah
Kehidupan (1941). Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs., Hamka
mempergunakan cerpen bukan sebagai penghibur hati, melainkan sebagai usaha
untuk mengunggah rasa sedih para pembaca.
Yang menulis cerpen-cerpen yang
lebih sungguh-sungguh dan lebih berhasil ditinjau dari segi sastra ialah Armijn
Pane. Cerpen-cerpennya banayk dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, antaranya yang berjudul ‘Barang Tiada Berharga’
misalnya sangat kuat sekali. Cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya belengu. Dari cerpen-cerpennya itu
tampak usaha Armijn untuk membuat lukisan dari kenyataan hidup sehari-hari pada
jamannya.
Pada masa
sesudah perang, cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan
cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan da diterbitkan dengan judul
Kisah Antara Manusia (1953). Sayang bahwa
kebanyakan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian tidaklah seberhasil yang
ditulisnya duluan.
Kalau ‘Barang Tiada Berharga’
merupakan prototip bagi roman Belenggu
yang ditulis Armijn kemudian, maka kita pun menemukan prototip roman Layar Terkembang dalam cerpen
‘Mengamendung’ yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit.
Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji
Poestaka.
1.2.6 Drama
Dalam bidang penulisan drama, kita
hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang rata-rata menulis lebih
dari pada hanay satu drama. Seperti pernah dikatakan, Roestam Effendi telah
menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama-sajak berjudl Bebasari (1924). Umumnya drama-drama itu
berbentuk closet drama, yaitu drama
untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.
Drama Sanusi Pane yang
mengambil tempat peristiwa terjadinya di India, Manusia Baru (1940), sebenarnya merupakan closet drama juga. Disamping Sanusi Pane, Armijn Pane yang banyak
menulis drama pada masa sebelum perang. Berbeda dengan abangnya, Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak
mengambil latar belakang kenyataan hidup jamannya.
Setelah perang drama-drama
Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1953). Menjelang
Jepang datang, terbit pula pada Balai Pustaka dua buah buku drama buah tangan
Sa’adah Alim dan Adlin Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tanagn
Adlin Affandi berjudul Gadis Modern (1941).
Keduanya merupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.
1.2.7 Roman-roman dari Medan dan Surabaya
Di
luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan
sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dalam
lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutkan penerbitan roman-roman
picisan.
Hamka
ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam yang
terkemuka di Sumatera Barat Yng perna mendapat gelar kehormatan dari
Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Roman Hamka yang pertama berjudul Di bawah Lindungan Ka’bah (1938),
mengisahkan cinta tak sampai antra dua kekasih yang terhalang oleh adat.
Romannya yang kedua Tenggelamnya Kapal
van der Wijck (1939). Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, karena ada orang yang
menyebutkan roman ini sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis
Alhonse Karr yang pernah disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustafa Luthfi Al-Manfalutfi
(1876-1924) seorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka.
Hamka
menulis pula Karena Fitnah (1938) dan
Merantau ke Deli (1939). Sehabis
perang, disamping kesibukannya menulis berbagai-bagai kitab tentang soal-soal
agama Islam, Hamka masih sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu
menulis Dijemput Mamaknya (1948).
Pengarang
lain yang juga menrbitkan buku-bukunya di Medan yang penting disebut di sini
antara lain Matu Mona, nama samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1910 di
Medan). Ia seorang wartawan yang
agaknya banayak menulis buku-buku yang bersifat populer, meski pun ia ada juga
menulis roman berlatar belakang peristiwa sejarah, berjudul Zaman Gemilang
(1939).
Sebuah
roamn terbit di Surabaya mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan
seorang gadis Bali berjudul Kintamani (1932) buah tangan Iman Supardi.
Pangarang ini ialah seorang wartawan yang aktif di Surbaya, terutama dalam
penerbitan-penerbitan berbahasa Jawa. Kecuali roman ini tak diketahui lagi buah
tangannya ang lain dalam bahasa Indonesia.
1.2.8 Para Penyair dari Sumatera
Atas
usaha penyairnya sendiri atau atas usaha penerbit-penerbit swasta yang
kecil-kecil di Medan dan kota lain di Sumatera terbit beberapa buah kumpula
sajak. Dalam membicarakan para penyair pujangga baru telah disebut tentang
kumpulan Sajak Puspa Aneka buah
tangan Yogi Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan laian-lain pun
mempunyai buku-buku kumpulan sajak yang kalau hendak dilihat tebalnya saja,
rata-rata lebih tebal daripada buku-buku kumpulan sajak yang terbit di Jakarta.
A. Hasjmy atau kadang-kadang juga
menuliskan namanya M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) telah
disebut namanya sebagai anggota lingkungan pujangga baru. Sajak-sajaknya memang
ada juga yang dimuat dalam majalah Poedjangga
Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Seorang pengembara yang empat
tahun kemudian disusul dengan yang kedua berjudul Dewan Sajak (1940).
Di samping
sajak-sajak yang dimuat dalam kedua kumpulan ini, masih banayak lagi
sajak-sajak Hasjmy yang berserekan dalam berbagai majalah. Sebgaian dari sajak-sajak ynag
berserekan itu pada masa sesudah perang dibukukan bersama dengan beberapa buah
cerpen yang ditulisnya, di bawah judul Asmara
dalam Pelukan Pelangi (1963).
Lebih rendah
lagi mutunya dari sajak-sajak A. Hasjmy ialah sajak-sajak Surapaty, nama
samaran M. Saleh Umar. Tahun 1941 ia menerbitkan seberkas sajak dengan judul Indonesia Baru yang olehnya “
Dipersembahkan kepada Angkatan Muda “. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena
tak ada penghayatan. Sehabis perang masih ada kumpulan sajak dari tangannya
yang terbit, antara Diriku Ta’ada (1949).
Sajak-sajak H.R.
Bandaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1917) dalam bukunya Sarinah dan Aku (1940). Sajak Bandaharo
yang dimuat dalam majalah-majalah antaranya ada yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Pada masa sesudah
perang, ia aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil
menerbitkan beberapa kumpulan sajak, antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).
Lebih bernilai
untuk diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang
tahun 1909) yang berjudul Kata Hati
(1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan keprcayaan
agamayang dipeluknya, agama Islam. Ia pun menerjemahkn kedalam bentuk puisi
beberapa surat Al-Qur’an, yaitu surat Al-Ikhlas menjadi ‘Maha Tunggal’, surat
Al-Asri menjadi ‘Waktu’ dan surat An-Nasri menjadi ‘Bersyukurlah’.
Penyair terpenting yang menerbitkan
kumpulan sajaknya Medan sebelu perang ialah Samadi, nama samaran Anwar Rasjid
(lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang
diterbitkannya itu berjudul Senandung
Hidup (1941). Penyair ini bebrapa lamanya menjadi kepala sekolah H.I.S. di
Kuala Simpang, kemudian sejak 1939, ia menjadi redaktur majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sajak-sajak yang
dihimpunkan dalam Senandung Hidup itu
ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941. Penyair ini hilang tak berbekas di
tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecambuk di Sumatera sekitar
tahun 1957-1958 (PRRI).
1.3 PERIODE 1942-1945
1.3.1 Saat-saat
Yang Mematangkan
Dijajah Jepang selama tiga setengah
tahun merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga
sastra Indonesia. Bahasa Indonesia yang tadinya dihindarkan oleh Belanda supaya
jangan resmi menjadi bahasa persatuan, oleh Jepang malah dijadikan satu-satunya
bahasa yang dipergunakan di seluruh kepulauan dan dalam bidang kehidupan. Bahasa
Belanda dilarang dengan bermaksud menggantinya dengan bahasa Jepang sendiri,
namun karena masa jajahan Jepang hanay tiga setengah tahun kedudukan bahasa
Indonesia semakin diuntungkan dan menjadi bahasa yang tetap dan kuat
kedudukannya.
Dengan semakin intensifnya bahasa Indonesia
dipergunakan, maka berpengaruh pula pada sastra Indonesia yang mengalami
intensifikasi. Dengan semboyan tiga-A, Para pengarang beserta dengan seniman
lainnya dikumpulkan oleh Jepang di kantor Pusat Kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka Shidosho. Seniman-seniman
dikerahkan untuk membuat lagu-lagu, lukisan-lukisan, slogan-slogan, sajak,
bahkan film, yang bertujuan untuk membangkitkan semangat, menambah kepercayaan
orang kepada keunggulan balatera Dai Nippon.
Terhadap perbudakan kesenian untuk tujuan
propaganda perang ini banyak seniman yang keberatan. Meski mula-mula uluran
tangan Jepang disambut dengan antusias, namun kian lama kian banyak seniman
terbuka matanya. Usmar Ismail yang pada mulanya sangat percaya kepada janji dan
slogan-slogan buatan Jepang, kemudian merasa curiga juga. Sedang Chairil
Anawar, Amal Hamzah dan beberapa orang kawannya lagi yang sejak semula menaruh
curiga kepada Jepang. Mengejek para seniman yang berkumpul di Kantor Pusat
Kebudayaan. Amal Hamzah menulis sebuah sandiwara berjudul “Tuan Amin” yang
merupakan sindiran kepada Armijn Pane yang pada saat itu bersemangat menyokong
Jepang dan menulis sandiwara-sandiwara sesuai dengan permintaan Jepang.
Disamping itu Amal Hamzahpun menulis dialog antara X dan Y, keduanya seniman,
dengan judul ‘Seniman Penghianat’. Percakapan antara dua seniman itu mewakili
dua dunia seniman. Yang satu seniman yang mau menjaga kemurnian ciptaannya
karena itu menolak jadi kacung Kantor Pusat Kebudayaan; sedangkan yang lain
mengabdi di Kantor Pusat Kebudayaan yang membuat sajak, cerita pendek,
sandiwara dan lain-lain sesuai dengan pesanan. Tokoh ini membela diri dengan
mengatakan bahwa ia tidak merasa dirinya sebagai seniman melainkan sebagai
seorang pegawai.
Chairil Anwar mengemukakan pendapatnya
mengenai prinsip-prinsip penciptaan seni, konsepsinya mengenai seni dan
seniman, dalam sebuah pidato yang diucapkannya di muka Angkatan Baru tahun
1943. Dengan tegas ia mengemukakan bahwa baginya :Keindahan(ialah)
persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup” dan mencapai keindahan”
serta lebih lanjut: “seniman ialah tanda dari hidup yang melepas bebas”.
Teranglah kiranya bahwa bagi seniman yang berpendirian seperti itu,
slogan-slogan dan wahyu-wahyu yang timbul dari instruksi atasan tidaklah
berarti.
Pada masa penjajahan Jepang ini kita kian
banyak jumlah orang yang menulis sajak dan cerpen, demikian juga sandiwara.
Sedangkan roman kurang ditulis. Mungkin karena keadaan sosial dan keadaan
perang menuntut supaya orang bekerja serba cepat dan singkat. Balai pustaka
selama masa itu hanya menerbitkan dua buah roman saja, yaitu Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan
Iskandar dan Palawija (1944) oleh
Karim Halim (lahir tahun 1918). Keduanya roman propaganda yang tak bernilai
sastra.
Situasi Jepang dan penderitaan lahir-batin
dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita. Juga pada masa inilah kita
menyaksikan bahasa Indonesia mengalami pematangan, yaitu pada sajak-sajak
Chairil Anwar dan prosa Idrus. Bahasa Indonesai bukan lagi hanya sekedar alata
untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucapan
sastra yang dewasa.
Kehidupan yang mura-marit dalam bidang
ekonomi juga mengajar para pengarang Indonesia supaya belajar hemat dengan
kata-kata. Setiap kata, setiap kalimat, setpa alinea ditimbang dengan matang,
baru disodorkan pada pembaca. Juga sebagai sumber superlativisme dan
perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para
pengarang pujangga baru, telah ditinggalkan. Seperti dapat kita saksikan dalam
prosa karangan Idrus, ekonomisasi kata dan bahasa itu tampak jelas sekali.
Bahkan cara penulisan pun disederhanakan. Gaya yang dipakai oleh Idrus dikenal
sebagai gaya-menyoal-baru ( nieuw
zakelijkheids stijl) yang serba sederhana.
Pun bidang perhatian dalam memilih materi
buat menulis sastra menjadi lebih sederhana. Yang menjadi perhatian para
pengarang bukanlah lagi masalah yang pelik-pelik ataupun kehidupan yang rumit,
melainkan kenyataan sehari-hari yang tampak dengan mata kepala.
1.3.2 Para Penyair
Meskipun benar bahwa sebagian besar sajak
asli Chairil Anwar ditulis padajaman Jepang, tetapi karena kebanyakan baru
diumumkan sesudah revolusi dan sajak-sajaknya ssudah revolusi lebih matang,
maka tentang penyair itu tidak akan dibicarakan dalam kesempatan ini. demikian
juga tentang Idrus. Pada masa Jepang ini kita menyaksikan beberapa penyair
muncul. Yang terpenting di antaranya ialah Usmar Ismail, Amal Hamzah dan
Rosihan Anwar.
Usmar Ismail, seorang pemuda Minangkabau kelahiran Bukittinggi tanggal 20 Maret tahun 1921, lebih dikenal sebagai seorang dermawan dan cineaste ( pembuat film), terutama dalam tahun-tahun belakangan. Dalam dunia sastra ia lebih terkenal sebagai penulis drama. Tetapi ia mulai masuk ke dunia kesusastraan khususnya dan kesenian umumnya dengan sajak-sajak dan beberapa buah cerpen. Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa buah saja, antara lain dimuat dalam Pancaran Cinta(1946) dan Gema( 1948). Keduanya disusun oleh H.B. Jassin. Sajak-sajak Usmar sebagian besar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Puntung Berasap(1949).
Usmar Ismail, seorang pemuda Minangkabau kelahiran Bukittinggi tanggal 20 Maret tahun 1921, lebih dikenal sebagai seorang dermawan dan cineaste ( pembuat film), terutama dalam tahun-tahun belakangan. Dalam dunia sastra ia lebih terkenal sebagai penulis drama. Tetapi ia mulai masuk ke dunia kesusastraan khususnya dan kesenian umumnya dengan sajak-sajak dan beberapa buah cerpen. Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa buah saja, antara lain dimuat dalam Pancaran Cinta(1946) dan Gema( 1948). Keduanya disusun oleh H.B. Jassin. Sajak-sajak Usmar sebagian besar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Puntung Berasap(1949).
Amal
Hamzah, adik Amir Hamzah yang lahir di Binjai, Langkat tanggal 31 Agustus tahun
1922, dalam sajak-sajaknya yang pertama menunjukkan pengaruh abangnya. Amal
mulai menulis di jaman Jepang, ketika mana ia kehilangan kepercayaan kepada
manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalis. Juga dalam
sandiwara-sandiwara dan cerita atau sketsa yang dibuatnya, sensualisme sangat
kentara. Ia tampkanya mau menjadi nihilis yang mencampakkan segala nilai dan
kehendak mereguk hidup sepuas-puasnya tanpa mengindahkan moral dan agama lagi.
Sajak-sajak dan karangan lainnya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pembebasan Pertama(1949). KECUALI Pembebasan Pertama, Amala Hamzah menulis
Buku dan Penulis (1950) yang
merupakan kumpulan kritikannya tentang beberapa roman dan drama di Indonesia.
Kemudian ia lebih banyak menaruh minat kepada menerjemahkan.
Rosidah
Anwar( lahir di Padang pada tanggal 10 Mei 1922) yang sekarang lebih terkenal
sebagai seorang wartawan dan kolumnis terkemuka, pada jaman Jrpang menulis
sejumlah sajak dan cerpen. Sajak-sajaknya bnayak melukiskan perasaan dan
semangat pemuda. Cerpennya berjudul “Radio Masyarakat’ melukiskan kemelut jiwa
pemuda yang dilanda keraguan atas segala janji-janji kosong dari Jepang.
Pada
tahun 1967 Rosihan menerbitkan sebuah roman berjudul Raja Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka, yang
merupakan sebuah roman sejarah semenanjung pada awal abad ke-18.
Penyair
lain yang juga muncul pada jaman Jepang ialah Anas Ma’ruf (lahir di Bukit
Tinggi, 27 Oktober 1922), yang pada jaman sesudah perang lebih terkenal sebagai
organisator kebudayaan dan penerjemah. Ia menulis sejumlah sajak dan esai serta
kritik. Ia pun menerjemahkan karya-karya para pengarang dunia seperti Rabindranath
Tagore, John Steinbeck( pengarang Amerika pemenang nobel), WilliamSaroyan9 juga
pengarang Amerika) dan lain-lain. Ia lama menjadi sekretaris Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional dan memegang redaksi majalah kebudayaan Indonesia.
M.S.
Ashar 9lahir di Kutaraja, 19 Desember 1921) yang pada jaman Jepang menulis
beberapa buah sajak menjadi terkenal karena sebuah sajaknya yang berjudul “
Bunglon”. Sajak itu merupakan sindiran bagi orang-orang yang bertabiat
plin-plan, yang pada masa itupun sudah banyak kelihatan.
Dua orang penyair wanita yang muncul
pada jaman Jepang ialah Maria Amin ( lahir di Bengkulu tahun 1921) yang
sebenarnya sudah muncul dalam majalah Poejangga
Baroe, dan Nursjamsu lahir di Lintau, Sumatera Barat, tanggal 6 Oktober
1921). Maria Amin oleh kekecewaan melihat kehidupan sosial politik lalu lari
kedalam dunia simbolik.
1.3.3 Cerita
Pendek
Pada
jaman Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa pengarang baru muncul.
Sayembara mengarang cerpen diadakan; dalam majalah-majalah yang terbit saat itu
seperti Pandji Poestaka, Djawa Baroe
dan lain-lain cerpen banyak diberi tempat.
Pada
jaman Jepang itu H.B. Jassin (lahir di Gorontalo 31 Juli tahun 1917) juga
menulis cerpen, salah sebuah cerpennnya berjudul ‘Anak Laut’, kemudian bersama
dengan cerpen-cerpen buah tangan beberapa pengarang lain diterbitkannya secara
bersama dengan judul Pancaran Cinta (1946).
Pengarang
cerpen lain yang muncul pada jaman Jepang ialah Bakri Siregar( lahir di Langsa,
Aceh tahun 1922). Cerpennya yang pertama berjudul ‘ Di tepi Kawah’ mendapat
hadiah pertama sayembara mengarang cerpen. Cerpen itu melukiskan kehidupan di
tepi kawah yang jauh dari masyarakat umum.
Pada
masa sesudah perang Bakri masih ada juga menulis cerpen. Tetapi peranannya
sebagai pimpinan Lembaga Seni Sastra Lekra lebih banyak dicurahkan kepada
penulisan karangan-karangan yang berupa kritik, polemic dan semacamnya.
1.3.4 Drama
Penulisan
drama pada jaman Jepang ini boleh dikatakan sangat subur. Hal itu mungkin
disebabkan pula oleh kegiatan rombongan sandiwara yang berkumpul dalam
Perserikatan Oesaha Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armin Pane.
Beberapa
nama pengarang yang banyak membuat sandiwara pada jaman Jepang ialah Armin
Pane, Usmar Ismail, Abu Hnifah, Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi dan
lain-lain.
Umar
Ismail yang namanya sudah kita sebut dalam hubungan oenulisan sajak dan cerpen,
pada jaman Jepang ini menyadur sebuah kisah berjudul ‘Chichi Kaeru’.
Drama-drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan ialah’Mekar Melati’ dan ‘
Tempat yang Kosong’.
Abang
Umar Ismail yang bernama Abu Hnifah kalau menulis mempergunakan nama samara El
Hakim, lahir 1906 di Padangpanjang, dalam drama El Hakim terasa dasar-dasar
agama Islam dan kecenderungan memilih Timur dalam pertarungan antara Timur
dengan Barat yang dianggapnya sebagai pertentangan antara Idealisme dengan
Materialisme.
BAB
II PERIODE PERKEMBANGAN
2.1 PERIODE 1945-1953
2.1.1 Angkatan 1945
Munculnya
Chairil Anwar dalam panggung sejarah astra Indonesia memberikan sesuatu yang
baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang betapa pun
masih mengingatkan kita kepada satra Melayu, eskipun sajak-sajak Amir itu
memang indah dan bernilai tinggi. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajak-sajak
Chairil Anwar bernilai, bahkan bernilai tinggi. Bahasa yang dipergunakannya
ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa.
Segera
Chairi Anwar mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang
penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana,
P. Sengodjo, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah, Walujati, Harjadi S. Haertowardojo,
Muh. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan
gaya-me-nyoal-baru yang segera pula mendapat pengikut yang luas.
Pada
mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama: ada yang menyebutnya
Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Chairil Anwar, Angkatan
Kemerdekaan dan lain-lain.
Baru pada tahun
1950 ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil
Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap
yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama ‘Gelanggang Seniman
Merdeka’. Dalam perkumpulan ini, kecuali para pengarang, juga berkumpul para
pelukis, musikus dan seniman-seniman lain seperti Baharudin M.S. (pelukis),
Mochtar Apin (pelukis), Henk Ngantung (pelukis), Basuki Resobowo (pelukis),
Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Rival Apin dan lain-lain.
2.1.2 Beberapa Tokoh
A. CHAIRIL ANWAR
Chairil
Anwar dilahirkan di Medantanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai MULO
(SMP) dan itupun tidak tamat. Kemudaian ia pindah ke Jakarta. Tetapi ia seorang
yang banyak sekali membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya
matang dan padat berisi.
Sajaknya
yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit
dan individualistis ialah yang berjudul ‘Aku’ (di tempat lain diberinya
berjudul ‘Semangat’). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang
jalang”, sebutan mana segera menjadi terkenal.
Tetapi disamping seorang individualis,
Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan
patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya ‘Diponegoro’, ‘Krawang-Bekasi’,
‘Persetujuan dengan Bung Karno’, ‘Siap Sedia’, ‘Cerita buat Dien Tamaela’ dan
lai-lain.
Pada
tahun 1948, Chairil menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana. Tetapi segera pula
ditinggalkannya. Ia tak pernah bisa betah lama-lama bekerja disuatu kantor. Dan
pada tahun1949, tanggal 28 April, ia meninggal di rumah sakit umum pusat
Jakarta karena tipus dan berebagai penyakit lain. Ketika dia dikuburkan di
pemakaman Karet, masyarakat Jakarta menunjukkan perhatian yang besar dengan
mengiringkan jenazah.
Baru pada waktu ia sudah
meninggallah saja-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan Yang
Terhempas Dan Yang Luput (1949). Deru
Campur Debu (1949) dan Tiga Menguak
Takdir (1950).yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul
Sani dan Rivai Apin. Tulisan-tulian Chairil yang tidak termuat dalam keiga
kumpulan itu kemdian diterbitkan dengan kata pengantar dari H.B. Jassin,
berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan
’45 (1956).
B. ASRUL
SANI dan RIVAI APIN
Penyair
kawan seangkatan Chairil yang bersama-sama mendirikan ‘Gelanggang Seniman
Merdeka’ iala Asrul Sani dan Rivai Apin. Ktiga penyair itu,
Chairil-Asrul-Rivai, biasanya dianggap sebagai trio pembaharu Indonesia,
pelopor Angkatan ’45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama,
Tiga Menguak Takdir (1950). Judul itu oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai
usaha ketiga penyair itu dalam menghadapi (“menguakkan”)bSutan Takdir
Alisjahbana, sebab perkataan “Takdir” di situ dihubungkan dengan perjuangan
ketiga orang itu menghadapi Pujangga Baru yang dalam hal ini dilambangkan oleh
Sutan Takdir Alisjahbana.
Asrul
Sani lahr di Rao, Sumatera Barata tanggal 10 Juni 1926. Ia pertama kali
mengumumkan sajak-sajak an karya-karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia.
Asrul
Sani seorang sarjana kedokteran hewan yang kemudian menjadi direktur Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan
Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS
wakil seniman.
Sajak-sajak
Asrul sangat merdu (melodious). Kata-katanya memberikan citra (image) yang
lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan
meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya ‘Mantera’ dan ‘Surat Dari Ibu’
menunujukkan pandangan hidupnya yang moralis. Sajaknya ‘Pengakuan’ merupakan
pengakuannya sebagai manusia yang senantiasa mencari.
Cerpen-cerpen
Asrul melukiskan betapa halus perasaannya kepada manusia; melukiskan kehidupan
dan sifat-sifat manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaannya
sendiri. Kehidupan masyarakat yang kaku dan orang-orang yang berwatak suka
kepada belenggu aturan yang dibuatnya sendiri, banyak disindir Asrul dalam
cerpen-cerpennya. Dalam cerpen-cerpen Asrul terasa ada usaha menyelami dan
mengemukakan situasi manusia yang membelenggu karena kebodohan manusia sendiri.
Beberapa cerpennya yang terkenal berjudul ‘Bola Lampu’, ‘Sahabat Saya Cordiaz’,
‘Si Penyair Belum Pulang’, ‘Perumahan bagi Fadjria Novari’, ‘Dari Suatu Masa
dari Suatu Tempat’, ‘Museum’, ‘Panen’ dan lain-lain.
Seorang
sarjana sastra dari Universitas Indonesia telah menulis buku yang meneliti dan
menanggapi sajak-sajak dan cerpen-cerpen Asrul. Sarjana ialah Drs. M.S.
Hutagalung dan hasil penelaahannya mengenai buah tangan Asrul berjudul Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967). Dalam
buku itu dimuatkan juga sebagian besar sajak-sajak Asrul yang tidak termuat
dalam Tiga Menguak Takdir dan Gema Tanah Air (1948) yang disusun H.B.
Jassin. Juga cerpennya ‘Museum’ dimuat dalam buku Hutagalung tersebut.
Rivai
Apin lahir di Padangpanjang tanggal 30 Agustus 1927. Sejak masih duduk di
sekolah menengah ia telah mengumumkan sajak-sajaknyadalam majalah-majalah
terkemuka, ia pun pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema Suasana, Gelanggang, Zenith, dan lain-lain. Tahun 1954 ia
melakukan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya: ia keluar dari redaksi
Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dan bebrapa lamanya memimpin majalah kebudayaan
Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan P.K.I.
C. IDRUS
Idrus
yang lahir di Padang Panjang tanggal 21 September 1921 biasanya dianggap orang
sebagai salah seorang tokoh pelopor Angkatan ’45, tetapi ia sendiri selalu
menolak penamaan itu. Namun demikian, taklah pula dapat dibantah peranannya
dalam merombak dan memperbaharui penulisan prosa sastra Indonesia, terutama
ketika ia memperkenalkan gaya-menyoal-baru.
Setelah
keluar dari sekolah menengah, Idrus masuk bekerja menjadi redaktur Balai
Pustaka, ditempat mana ia bertemu serta berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan
Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Nur Sutan Iskandar dan lain-lain. Pada jaman
Jepang, ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk
Asia Timur Raya seperti ceritanya yang berjudul ‘Ave Maria’ dan dramanya ‘Kejahatan
Membalas Dendam’. Ia meninggalkan cerita-cerita romantik “tanam kapas” dan
mulai melukiskan realitas kehidupan sehari-hari masa itu. Baru pada masa
sesudah revolusi tulisan-tulisan itu diumumkan dengan judul umum ‘Corat-coret
di bawah Tanah’. Dalam corat-coretnya itu ia melukiskan kehidupan rakyat di
jaman Jepang secara sinis dan kasar.
Sikap
sinis dan kasar ini diperlihatkannya pula ketika ia menulis tentang para
pejuang kemerdekaan menghadapi pasukan-pasukan Inggris dan Belanda yang mau
menjajah lagi di Indonesia dalam karangannya yang berjudul ‘Surabaya’. Dalam
karangannya itu para pejuang kemerdekaan disebutnya “koboi-koboi” dan tentara
sekutu sebagai “bandit-bandit”.
Karangan-karangan
itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948). Buku Idrus yang lain ialah Aki
(1950) yang merupakan simboliknya dengan maut. Di samping sebuah sandiwara yang
berjudul Keluarga Surono (1948)
diterbitkan di Medan.
Di
lapangan penerjemahan ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton
Chekhov (1860-1904), pengarang Italia Luigi Pirandello (1867-1904), pengarang
Cekoslovakia Jaroslav Hasek (1883-1923), pengarang Belgia Willem Elsschot
(1882-19 ) dan lain-lain.
Kemudian
Idrus beberapa tahun lamanya hidup di Kualalumpur, mendirikan penerbitan
buku-buku dan majalah. Buku yang ditulis dan diterbitkannya disana berjudul
Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963). Sesudah itu Idrus
pergi ke Australia mengajar sastra Indonesia modern di Monash University, dan
menerjemahkan cerpen-cerpen Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
D. ACHDIAT K.MIHARDJA
Meskipun
pada jaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah di Garut bernama
Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak pernah disebut-sebut dalam dunia satra
sampai ia muncul dengan romannya yang berjudul Atheis (1948). Roman yang di tulis ketika pengarang sudah berusia
agak lanjut ini (ia dilahirkan di Garut tanggal 6 Maret 1911) sekaligus
merupakan suatu sukses dan menyebabkan pengarangnya dianggap sebagai salah
seorang pengarang roman terkemuka di Indonesia. Meskipun menilik usianya ia
lebih dekat dengan para pengarang pujangga baru (ia kawan sekelas Amir Hamzah
di AMS Solo) tetapi oleh para penelaah sastra Indonesia ia biasanya digolongkan
kepada para pengarang Angkatan ’45.
Atheis
adalah sebuah roman yang melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia
dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh utamanya, seorang
pemua kelahiran desa bernama Hasan.
Roman
ini bentuknya sangat istimewa dan orisinal. Sebelumnya tak pernah ada roman
seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back (cara kisah dengan menceritakan kembali yang sudah
terjadi sebelumnya) bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman
Indonesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit tahun 1920 pun sudah
memepergunakan cara berkisah flash-back itu.
Tentang
roman Atheis ini seorang sarjana
sastra, Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan telaahnya berjudul Roman Atheis (1963).
Sebagai
pengarang, Achdiat bukanlah seorang yang produktif benar. Beberapa tahun
lamanya setelah Atheis terbit ia
hanya menerbitkan Polemik Kebudayaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik
sebelum perang dan sebuah drama kanak-kank yang berjudul Bentrokan dalam Asrama (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula
karya sastra dari tangannya berupa buku, ialah Keretakan dan Ketegangan
yang merupakan kumpulan cerpen dan drama satu babak. Buku ini mendapat hadiah
sastra nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun
1955-1956 untuk cerpen.
Pada
tahun 1961 terbit pula kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Kesan dan
Kenangan, khusus memuat cerpen-cerpen yang berdasarkan pengalaman-pengalamannya
sebagai seorang pengelana dari satu benua ke benua lain dan menemukan
manusia-manusia dengan berbagai persoalan.
E. PRAMOEDYA
ANANTA TOER
Pengarang yang dilahirkan di Blora
tanggal 2 Pebruari 1925 ini, meskipun sudah mulai mengarang sejak jaman Jepang
dan pada masa awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh
(1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949
ketika cerpennya ‘Blora’ yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya
Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh
Balai Pustaka. Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lain yang juga
ditulis Pram dalam penjara diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).
Pram ditahan sejak tahun 1947 dan baru
keluar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Selama dalam penjara
itu ia banyak menulis. Kecuali roman Perburuan yang diselundupkan melalui Dr.
G.J. Resink dan H.B. Jassin untuk kemudian diikutkan pada sayembara mengarang
Balai Pustaka juga ia menyelesaikan roman Keluarga
Gerilya (1950) dan sejumlah cerpen. Cerpen-cerpen yang ditulis dipenjara
itu bersama-sama dengan beberapa cerpen yang ditulis sebelumnya, kemudian
diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Percikan
Revolusi.
Karya yang berjudul Mereka yang
Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951/1952) merupakan pengalaman-pengalamannya
selama dipenjara; Cerita dari Blora
(1952), Di Tepi Kali Bekasi (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Gulat di Jakarta (1953), Korupsi (1954), Midah, si Manis Bergigi Emas (1954), Cerita dari Jakarta (1957) dan lain-lain.
F. MOCHTAR
LUBIS
Mochtar Lubislebihterkenal sebagai
wartawan. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1922 dalam sebah
keluarga Batak Mandailing. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di lapangan
penerangan. Sesudah merdeka ia turut mendirikan kantor berita ‘Antara’ dan
terus bergerak dilapangan jurnalistik.
Buku romannya yang pertama berjudul Tak Ada Esok (1950). Romannya yang kedua
Jalan Tak Ada Ujung (1952) mendapat
hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. untuk roman 1952.
Tentang roman Mochtar yang kedua ini telah
ditulis sebuah buku yang khusus menelaah dan menyiasatinya oleh Drs. M.S. Hutagalung
berjudul Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963).
Roman ketiga yang ditulis oleh Mochtar ialah Senja di Jakarta yang diselesaikan
ketika ia berada dalam tahanan. Roman ini pertama kali diterbitkan dalam
terjemahan Inggris, yaitu Twilight in Jakarta (1963) yang mendapat sambutan
dalam pers dunia.
Juga romannya yang keempat berjudul Tanah
Gersang (1966) yang melukiskan kehidupan para remaja kota yang menghadapi
kemelut, tidaklah sebaik-seindah Jalan
Tak Ada Ujung.
Di samping menulis roman, Mochtar pun banyak
sekali menulis cerpen dan kadang-kadang menulis esai. Kalau menulis esai ia
sering mempergunakan nama samaran Savitri.
Cerpen-cerpennya sebagian telah diterbitkan
menjadi dua buah kumpulan. Yang pertama berjudul Si Jamal (1950) dan yang kedua berjudul Perempuan (1956).
G. UTUY TATANG SONTANI
Pada
saat-saat pertama Jepang menginjakkan kaki di bumi Indonesia, pengarang
kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah menulis beberapa buah buku dalam bahasa
Sunda, antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera
(1943).
Dramanya yang pertama berjudul Suling (1948),
drama yang kedua berjudul Bunga Rumah Makan (1948). Dramanya yang berjudul Awal
dan Mira (1952) yang mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N.
Drama-dramanya yang ditulis sesudah itu
melukiskan kegetiran yang lebih pesimistis lagi. ‘Manusia Iseng’, ‘Sayang Ada
Orang Lain’, ‘Di Langit Ada Bintang’, dan ‘Saat Yang Genting’ melukiskan
kemelut manusia kota dalam kehidupan yang hancur sendi-sendinya dan kehilangan
norma–norma moral serta agama.
Dua buah dramanya yang berjudul ‘Selamat Jalan
Anak Kufur!’ dan ‘Saat Yang Genting’. Puncak individualisme dalam drama-drama
Utuy terdapat dalam Sang Kuriang (1959). Drama lain juga mempergunakan nama
tokoh dongeng rakyat Sunda ialah Si Kabayan (1959) yang merupakan sebuah
komedi.
Sesudah itu Utuy membuat belokan yang tajam :
awal tahun 1960-an ia masuk Lekra dan menulis sebuah drama agitasi berjudul Si Sapar (1964) dan Si Kampeng (1964). Yang pertama tentang “setan-setan kota” dan yang
kedua tentang “tujuh setan desa”. Di samping itu masih ada pula sebuah kumpulan
cerpen Utuy, berjudul Orang-orang Sial
(1951) yang suasananya lebih dekat dengan Awal
dan Mira.
H. SITOR SITUMORANG
Pengarang
kelahiran Harianboho, Tapanuli, tanggal 2 Oktober 1924 ini sudah mulai menulis
esai, kritik, sajak, bahkan juga cerpenpada akhir tahun empat puluhan. Kumpulan
sajaknya yang pertama berjudul Surat
Kertas Hijau (1954). Kemudian disusul oleh kumpulan sajaknya yang kedua
berjudul Dalam Sajak (1995) dan yang
ketiga berjudul Wajah Tak Bernama
(1956). Kumpulan sajaknya yang keempat baru terbit beberapa tahun kemudian,
berjudul Zaman Baru (1962), ia pun
menerbitkan pula drama yang berjudul Jalan
Mutiara (1954), dan kumpulan cerpen yang berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956) dan Pangeran (1963).
I. AOH K. HADIMADJA
Aoh K. Hadimadja yang kadang-kadang juga
mempergunakan nama samaran Krlan Hadi, mulai muncul dalam dunia sastra
Indonesia pada masa sebelum perang. Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Pada masa Jepang ia
menulis sajak-sajak yang religius. Beberapa buah di antaranya kemudian dimuat
dalam kumpulannya Zahra (1952), yaitu
yang berjudul ‘Pecahan Ratna’ dan ‘Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu’. Dalam kumpulan
itu dimuat pula sandiwaranya berjudul ‘Lakbok’.
Ia dilahirkan di Bandung tanggal 15 September
1911. Sejak 1953 ia lebih banyak di Eropa daripada di tanah air. Beberapa tahun
lamanya ia menjadi pegawai Radio Hilversum Nederland dan BBC London. Sementara
itu ia banyak menulis cerpen dan menerjemahkan sastra Inggris.
J. M. BALFAS dan RUSMAN SUTIASUMARGA
M. Balfas dan Rusman Sutiasumarga ialah dua
pengarang cerpen yang sering digolongkan kepada para pengarang Angkatan ’45,
meski jumlah buah tangannya tidaklah seperti para pengarang yang sudah dibicarakan
terlebih dahulu.
M. Balfas (lahir di Jakarta 25 Desember 1992)
lebih terkenal sebagai prosais, meski ia pun ada juga menulis satu-dua buah
sajak. Cerpennya ‘Anak Revolusi’. Kemudian bersama dengan beberapa buah cerpen
dan fragmen roman. ‘Anak Revolusi’ dibukukan dengan judul Lingkaran-lingkaran Retak (1952). Di Kuala Lumpur Balfas menulis
sebuah roman berjudul Retak (1964), juga pernah menulis sebuah sandiwara
berjudul ‘Tamu Malam’ dan sejumlah cerpen yang belum dibukukan.
Rusman Sutiasumarga (lahir di Subang tanggal 5
Juli 1917) mulai menarik perhatian pada tahun 1946 ketika cerpennya ‘Gadis
Bekasi’ mendapat hadiah dari Balai Pustaka. Ada juga cerpennya berjudul Yang
Terempas dan Yang Terkandas (1951).
Cerpen-cerpennya yang lebih kemudian diterbitkan oleh Balai
Pustaka dalam proyek 16 halaman berjudul Korban
Romantik (1964) dan Kalung (1964).
K. TRISNO SUMARDJO
Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya tanggal 6
Desember 1916) kecuali sebagai pengarang dikenal sebagai pelukis. Bukunya yang
pertama, kecuali terjemahan, ialah Kata Hati dan Perbuatan (1952). Kemudian
menerbitkan Cina Taruna (1953), sebuah sandiwara alegoris. Bukunya yang
kemudian berjudul Rumah Raja (1957) memuat dua buah cerita, ‘Rumah Raja’ dan
‘Pak Iman Intelek Istimewa’.
Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Daun Kering
(1962). Di samping itu ada pula kumpulan lain yang berjudul Wajah-wajah yang
Berubah (1968). Cerpennya ‘Topeng’ merupakan sebuah prosa yang sangat indah.
Sajak-sajaknya dikumpulkan dan diterbitkan
dengan stensil, berjudul Silhuet (1966). Ia banyak menerjemahkan sastra dunia,
antara lain drama-drama Shakespeare: Hamlet (1950), Macbeth (1950), Saudagar
Venezia (1951), Prahara (1952), Manasuka (1952), Impian di tengah Musim (1954),
Romeo dan Julia (1955), Antonius dan Cleopatra (1963), dan sejumlah sonetanya.
Kecuali itu juga diterjemahkannya Dongeng-dongeng Perumpamaan (1959) dari
Pujangga Perancis Jean de la Fontaine, dan Dokter Zhivago (1960) dari pengarang
Rusia Boris Pasternak, dan lain-lain.
L. MH. RUSTANDI KARTAKUSUMA
Barangkali tidaklah terlalu tepat menggolongkan
Mh. Rustandi Kartakusuma kepada Angkatan ’45. Drama yang ditulisnya berjudul Merah Semua Putih Semua (1961) berbentuk
novela yang latar belakangnya masa revolusi fisik melawan Belanda. Dari
penulisan drama, Rustandi kemudian juga melakukan penulisan scenario film yang
literer, yaitu yang berjudul Lagu Kian
Menjauh (1959). Kumpulan sajaknya yang berjudul Rekaman dari Tujuh Daerah
(1951). Banyak pula sajak-sajak yang ditulisnya berdasarkan kisah-kisah lama seperti
cerita pantun Sunda seperti ‘Lutung Kasarung’, dari kisah Singasari dalam
‘Kartanegara’ dan kisah Adam dan Hawa dalam ‘Parade Lost’ dan lain-lain.
Sementara itu Mh. Rustandi yang lahir di Ciamis
tanggal 21 Juli 1921. Dia juga menulis esai-esai yaitu ‘Adan dan Si Anak
Hilang’, ‘Homo Faber’, ‘Surat dari Cidadapgirang’.
2.1.3 Para Pengarang Wanita
Sekitar tahun lima puluhan kita
hanya kenal Ida Nasution, Walujati (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St.
Nuraini (Sani), dan Suwarsih Djojopuspito.
Ida Nasution ialah seorang pengarang esai yang berbakat.
Ida menulis beberapa buah esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi ia
kemudian menjadi korban revolusi. Ia hilang ketika dalam perjalanan
Jakarta-Bogor (1948).
Walujati (lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1924)
mulai menulis sajak pada masa-masa pertama revolusi. Sajaknya ‘Berpisah’
mendapat pujian dari Chairil Anwar sebagai sajak romantik yang menjadi. Sejak
itu ia banyak menulis sajak.
Pada tahun 1950 Walujati mengumumkan
sebuah roman berjudul Pujani. Konon
masih ada lagi roman yang ditulisnya, tetapi belum juga kunjung terbit.
St. Nuraini yang lahir di Padang
pada tanggal 6 Juli 1930 menulis sajak, cerpen, esai dan terutama menerjemahkan
hasil sastra asing. Salah sebuah sajaknya halus dan lembut sekali melukiskan
perasannya sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
S. Rukiah yang lahir di Purwakarta tanggal 25 April 1927
juga menulis sajak. Bahkan dimuat dalam bukunya Tandus (1952), ia juga menulis sebuah roman yang berjudul Kejatuhan dan Hati (1950).
Sebagai pengarang prosa yang tak pernah ketahuan menulis
sajak ialah Suwarsih Djojopuspito (lahir di Bogor tanggal 20 April 1912), ia
menerbitkan roman yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, berjudul Buiten het Gareel(di Luar Garis). Buku
kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Tujuh
Cerita Pendek (1951). Kumpulan
cerpennya yang kedua berjudul Empat
Serangkai (1954).
2.1.4 Beberapa
Pengarang Lain
Kecuali para pengarang yang tadi
sudah dibicarakan, masih banyak lagi pengarang-pengarang lain yang memulai atau
semata-mata menunjukkan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945-1953. Misalnya Barus
Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan
cerpennya dengan judul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang
tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen juga dengan judul
Sepanjang Jalan dengan beberapa Cerita Lain (1953). SK. Muljadi (lahir di
Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya
dengan judul Kaburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15
Juli 1915) menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Kisah Sewajarnya (1952). S.
Mundingsari yang nama sebenarnya
Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menerbitkan sebuah roman berjudul
Jaya Wijaya (1952). Muhammad Dimyati yang kadang-kadang mempergunakan nama
samaran Badaruz-zaman (lahir di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpulan
cerpennya berjudul Manusia dan Peristiwa (1951). R. Sutomo menerbitkan
sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950). Rustam St. Palindih menerbitkan
dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949) dan Cendera Mata
(1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung
(1949) dan lain-lain.
Ada juga yang mengumumkan buah
tangannya yang baru, baik cerpen maupun sajak. Untuk menyebut beberapa nama,
misalnya Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli, tanggal 5 Oktober 1920), P.
Sengojo atau Suripman (lahir 1926), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun
1928), Muh. Ali (lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung
Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang kesemuanya nama samaran
Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarta, tanggal 13 Agustus 1924),
Sirullah Kaelani yang kadang-kadang mempergunakan nama S.K. Insankamil (lahir
di Ciledug, Cirebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di
Porsea 1928), Harijadi S. Hartowardojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas
Kartadinata (lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya 1922) dan
lain-lain.
Di
bawah ini akan dibicarakan beberapa orang di antara mereka secara sepintas lalu
saja.
A. P.
SENGOJO
Nama sebenarnya ialah Suripman,
lahir didaerah Uangaran, tanggal 25 November 1926.
Lebih tenang dan lebih tajam,
mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952-1953-1954
memenuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul
umum Pecahan Bertebaran.
B. MUHAMMAD ALI
Nama lengkap Muhammad Ali Maricar,
lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturunan India. Cerpen-cerpen,
sajak dan sandiwaranya yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuah kumpulan
berjudul Hitam atas Putih (1959).
Sandiwara radio dimuat dalam buku itu berjudul ‘Lapar’.
C. DODONG DJIWAPRADJA
Dodong sudah menulis sajak pada
sekitar tahun 1948. Sajaknya ‘Cita-cita’ yang dimuat dalam majalah Gema
Suasana. Ia dilahirkan di Garut pada tanggal 28 September 1928.
D. HARJADI S. HARTOWARDOJO
Harjadi Sulaeman Hartowardojo mulai
mengumumkan sajak-sajaknya pada sekitar tahun 1950. Sajak-sajak yang ditulisnya
pada masa-masa itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang
berjudul Luka Bayang. Harjadi
dilahirkan di Prambanan pada tanggal 18 Maret 1930.
2.2 PERIODE 1953-1961
2.2.1 Krisis Sastra Indonesia
Setelah
Chairil Anwar meninggal dunia,
lingkungna kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdek a‘ seakan-akan kehilangan
vitalitas. Asrul Sani yang bebrapa lamanya asyik menulis esai, sudah jarang
sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demikian pula Rivai Apin,
padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan harap yang akan
melanjutkan kepeloporan Chairil.
Pada
bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang
“kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposium yang
diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan Galanggang, Lekra, Liga
Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu telah dibahas
kesulitan-kesulitan jaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi
dan ekonomi. Di antara para pembicara ialah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr.
Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Dr. J. Ismael, Sutan
Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh dan lain-lain. Dalam simposium itu
dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisi
lainnya.
tahun
berikutnya, tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposium tentang
kesusastraanIndonesia. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang
“impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gaglnya
revolusi Indonesia”. Krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul
ketika terbit majalah Konfrontasi pada
pertengahan tahun 1954. Dalam nomor pertama majalah itu dimuat sebuah esai
Soedjatmoko (lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa
Konfrontasi’. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa
sastra Indonesia sedang mengalami krisis.
Nugroho
Notosusanto, S.M. Ardan, Boejoeng Saleh dan lain-lain secara tandas disertai
dengan bukti-bukti yang sukar untuk dibantah, menolak penamaan “krisis sastra”.
Menurut mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur.
Sitor
Situmorang dalam sebuah tulisannya yang berjudul ‘Krisis H.B. Jassin’ dalam
majalah Mimbar Indonesia (1955)
mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan
krisis ukuran sastra. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang terkemuka
bahkan satu-satunya pula ialah H.B. Jassin, maka Sitor berkesimpulan bahwa
krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya
tidak matang.
2.2.2 Sastra Majalah
Salah
satu alasan utama yang dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra
Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953,
Balai Pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat
buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung di bawah
Kementerian P.P. & K berkali-kali mengalami perubahan status. Maka
aktivitas sastra terutama hnaay dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith,
Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah mak karangan-karangan
yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan
lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarang pun lantas hanay
mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Keadaan
seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istlah “sastra majalah”. Istilah ini
pertama kali dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya ‘Situasi 1954’
yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah Kompas yang dipimpinnya.
Dalam
simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi
memberikan sebuah perasaran tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan
Indonesia kepada Perkembangan Kesustraan Indonesia’. Dalam prasaran itu dicoba
untuk mencari ciri-ciri yang membedakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan ’45.
Dalam hal ini peranan majalah Kisah
(1953-1956), tidak bisa sibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul
dalam periode ini mengemukakan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah
ini. Karena itu nama-nama yang muncul di sini tidaklah terbatas kepada para
pengarang cerpen atau prosa saja, melainkan juga kepada penyair.
Di
samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sanagat
banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra,
majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi
yang hanya terbit beberapa nomor, ruangan kebudayaan Genta dalam majalah Merdeka yang
diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah Seni (terbit hanya setahun genap), majalah Konfrontasi, majalah Tjerita
dan majalah Budaya (terbit di
Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, di samping majalah-majalah yang sudah
lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/ Siasat dan Indonesia.
2.2.3 Beberapa Pengarang
A. NUGROHO NOTOSUSANTO
Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis
prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis
sajak-sajak yang sebagian besar dari antaranya dimuat juga dalam majalah yang
dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa
mendapat kepuasan dala menuis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai
pengarang prosa. Terutama cerpen dan esai.
Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini
sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpennya yang pertama
ialah Hujan Kepagian (1958). Nugroho
dikenal sebagai penulis esai. Ketika para pengarang lain hanya menulis cerpen
dan sajak, Nugroholah salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang
banyak menulis esai yang mencoba menyelami situasi jamannya.
B. A.A. NAVIS
Menurut usianya, Ali Akbar Navis yang kalau
menulis menyingkat namanya menjadi A.A. Navis itu sebenarnya lebih tepat
digolongkan kepada Angkatan ’45. Ia lahir di Padangpanjang 17 Nopember 1924. Ia
muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia
mengumumkan cerpennya yang pertma yang sekaligus menjadi terkenal berjudul
‘Robohnya Surau Kami’.
Kumpulan cerpen Navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964) . Pada umumnya
cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang
luas. Banyak pula yang merupakan sindiran akan tingkah laku dan keimanan
tokoh-tokohnya. Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini
masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam.
Berdasarkan buah tangannya yag nyata banyak
mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis
disebut sebgai seorang pengarang Islam.
C. TRISNOYUWONO
Trisnoyuwono sudah mulai menulis
cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Tetapi baru pada tahun 1955
cerpennya muncul dalam majalah sastra. Ia meninggalkan penulisan cerpen-cerpen
picisannya dan mulai mebulis secara lebih sungguh-sungguh. Kumpulan cerpennya
yang pertama Laki-laki dan Mesiu (1957)
mmendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958.
Di samping itu Trisnojuwono yang lahir di
Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain yang berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.
D. IWAN SIMATUPANG
Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada
tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Sesudah itu ia
menulis cerpen, drama dan roman.
Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya tidaklah
terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa.
Di antra drama-drama yang sudah
diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain
yang berjudul ‘Bulan Bujur Sangkar’, ‘Taman’, ‘RT Nol/ RW Nol’. Kebanyakan
drama sebabak. Cerpen-cerpennya patut disebut ‘Lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebua cerpen
yang baik sekali menyelam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara
sadar dan tak sadar. Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa diantranya
berjudul Ziarah, Kering dan Merahnya
Merah (1968).
E. TOHA MOHTAR
Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan
produktif menulis cerpan-cerpan dalam majalah-majalah hiburan dengan nama
samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengujutkan dunia
sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul Pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N.
tahun 1958.
Setelah menulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari
pengalaman perjuangandi Surabaya ketika para pemuda mempertahankan dari serbuan
tentara sekutu.
F. SUBAGIO
SASTROWARDOJO
Meskipun Subagio Sastrowardojo belakangan ini
lebih terkenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama pun merupakan kumpulan
sajak, yaitu Simphoni (1957).
Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan
di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyarankan,
melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya
yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang
sepi. Masih banyak lagi sajak-sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku
antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah
Perbatasan dan Salju.
G. MOTINGGO BOESJE
Motinggo Boesje yang lahir di Kupangkota,
Lampung, tanggal 21 Nopember 1937, hingga sekarang dikenal sebagai pengarang
Indonesia yang paling produktif. Dengan drama pula Motinggo pertama kali
menarik perhatian orang kepadanya. Yaitu ketika ia mendapat hadiah dalam
sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama.
Drama-drama lain ditulisnya kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya
dan Nyonya (1963), Malam Pengantin di
Bukit Kera (1963). Roman-romannya yang mula-mula banyak yang merupakan
simbolik perjuangan manusia dalam mempertahankan eksistensinya. Ketika kita
membaca roman-roman yang disebutnya roamn trilogi. Trilogi Retno Lestari (1968) misalnya, mempunyai beberapa bagian yang
sesungguhnya masih dapat diperbaikinya. Masing-masing roman trilogi itu
tebalnya lebih dari 500 halaman cetak.
H. PARA PENGARANG LAIN
Rijono Pratikto (lahir di Tegal tanggal 27
Agustus 1932) telah mulai menulis sajak masih duduk di S.M.P. Cerpen-cerpennya
dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Antara tahun 1952
dan tahun 1956 barangkali Rijoni merupakan pengarang yang paling banyak menulis
cerpen di Indonesia. Cerpen-cerpen permulaan itu kemudian diterbitkan dengan
judul Api dan Beberapa Cerita Pendek
Laini (1951).
S.M. Ardan
yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932)
mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajak-sajaknya
sebagian dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sorbron Aidit
berjudul Ketemu di Jalan (1956).
Ardan menulis cerpen-cerpen yang bersuasana puitis. Ardan pernah menyadur
cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara
penulisan roman. Yaitu Nyai Dasima (1965).
Sukanto S.A. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia
banyak menulis cerpen, tetapi hanya sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya
Bulan Merah (1958). Ia kemudian lebih
banyak mencurahkan minatnya kepada penulisan cerita kanak-kanak.
Alex A’xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain
(lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934), menulis cerpen yang kemudian sebagian
dikumpulkan menjadi buku berjudul Orang
yang Kembali (1956).
Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934) pertama-tama menulis
cerpen-cerpen yang kemudian sebagian dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1963). Sesudah itu ia
menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk
Ujung Dunia (1964) dan Tanah
Kesayangan (1965).
Alex L. Tobing (lahir di Surabaya 12 Juli 1934) ialah
seorang dokter yang mengisahkan pengalamannya tatkala menjadi ‘mahasiswa’ dalam
‘ perkenalan dengan Harga Manusia’ yang kemudian bersama dengan ‘Pudar
Menjelang Kilau’ diterbitkannya dengan judul Mekar Karena Memar (1959).
Ali Audah (lahir di Bondowoso 15 Juli 1924) lebih
terkenal sebagai penerjemah sastra Arab.
Tetapi ia sendiri pun menulis cerpen juga, di antaranya yang
dikumpulkannya dalam buku Malam Bimbang (1961).
Suwardi Idris (lahir di Solok tanggal 10 Nopember 1930)
menulis cerpen-cerpen yang kemudian di antaranya dibukukan dalam Isteri Seorang Sahabat (1963) dan Di luar Dugaani (1963).
Djamil
Suherman (lahir di Surabaya tahun 1926) mula-mula menulis sajak, tetapi
kemudian lebih mencurahkan perhatiannya menulis cerpen dan roman. Romannya yang
berdasarkan fantasi tradisional tentang akhirat berjudul Perjalanan ke Akhirat (1965)
M.
Alwan Tafsiri (lahir di Ngawi tahun 1937) menulis cerpen-cerpen yang kebanyakan
dimuat dalam majalah Kisah. Sebagian
diantaranya dimuat dalam kumpulannya berjudul Lukisan Dinding (1963).
Sementara
itu para pengarang yang pada periode ini banyak menulis cerpen , dan banyak di
antaranya yang baik-baik tetapi belum punya kesempatan untuk diterbitka sebagi
buku, antara lain Jusach Ananda (lahir 1934), Idrus Jassin (lahir di Gorontalo
tahun 1928), Amyus Nn. Yang merupakan
nama samaran Abdul Muis Nasution (lahir tahun 1926, meninggal 1968), Terbit
Sembiring (lahir 1934), Mahbub Djunaidi (lahir tahun 1936), Aris Siswo, Idrus
Ismail dan lain-lain.
2.2.4 Beberapa Penyair.
A. TOTO SUDARTO BACHTIAR
Toto
Sudarto Bachtir (lahir di Palimanan, cirebon, tanggal 12 Oktober 1929) telah
memulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal
adalah Ibukota Senja tahun 1951.
Tetapi kebanyakan sajak-sajaknya ditulis sesudah tahun 1953, sebagian besar
sajak-sajaknya yang telah di kumpulkan dan ditrbitkan menjadi dua buah buku,
masing-masing berjudul Suara (1956)
dan Etsa (1958).
Dalam
sajak-sajaknya yang lain ia berfilsafah tentang nasib, waktu, kemerdekaan, maut
dan hidup. Toto juga banyak menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen kedalam
bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemaha-terjemahan cerpennya di
kumpulkan dalam Bunglon (1965).
B. W.S. RENDRA
Rendra
yang semula nama lengkapnya Willibrodus Surendra Broto (lahir di solo 7
Nopember 1935). Merupakan penyair Indonesia terpenting di masa ini, ia mulai
mengumumkan sajak-sajaknya sekitarb tahun 1954.
Kemudian
sajak-sajaknya yang permulaan itu di muat dalam buku pertamanya yang berjudul Balada Orang-orang Tercinta (1957),
sajak-sajak sebagian telah di terbitkan dalam Rendra: 4 Kumpulan Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul
dalam ‘Kakawin-kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’, dan
‘sajak-sajak dua belas perak’. Sajak-sajaknya di tulis di Amerika antara lain
‘Nyanyian Angsa’, ‘Khotbah’, ‘Blues untuk Bonnie’ dan lain-lain.
Rendra
juga menulis cerpen, sebagian diantaranya sudah diterbitkan dalam sebuah
kumpulan berjudul Ia Sudah Berpetualang
(1963). Antara lain ia telah menerjemahkan drama-drama asing untuk
dimainkannya. Antara lain menerjemahkan karya penulis drama klasik Yunani
Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus Sang Raja, karya pengarang
drama Irlandia Bernard Shaw berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama
Perancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana,
dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890).
Dalam
eksperimen-eksperimennya dalam dunia teater antaranya yang berjudul ‘Bip-Bop’.
C. RAMADHAN K.H
Ramadhan
K.H, lahir si Bandung 16 Maret 1927, tetapi baru tampil namanya sebagai penulis
sekitar 1952. Dengan dramanya yema saja
(1959). Sajak-sajaknya sendiri yang dituliskan ketika ia baru pulang daari
spanyol, kemudian dibukukan dengan judul Priagan
Si Jelita (1958). Dan juga romannya yang berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI-UNESCO tahun 1968.
D. KIRDJOMULJO
Lahir
di Yogyakarta tahun 1930 seorang penyair yang banyak menulis sajak. Buku
kumpulan sajaknyayang berjudul Romance
Perjalanan 1.
Kirdjomuljo
juga menulis drama, drama yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang
berjudul “Nona Maryam” yang di cetak satu jilid degan drama buah tangan W.S.
Rendra, dua tiga buah lagi pernah dimuat di majalah Budaya Yogyakarta, di antaranya “Penggali intan”.
Belakanga
ini pun ia menulis cerpen dan roman, di antaranya ada yang sudah terbit
berjudul Cahaya di Mata Emi (1968)
dan Di Saat Rambutnya Terurai (1968)
yang terasa sangat lamban bear gayanya.
E. BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Beberapa
penyair lai n yang mengumumkan sajak-sajaknya di majalah pada periode ini. Di
antaranya Hartojo Andangdjaja (1930), A.D. Donggo (1932), M. Hussyn Umar
(1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), Surachman R.M. (1936),
Ayatrohaedi (1939), Masnur Samin (1930), dan lain-lain.
2.2.5 DRAMA
Setelah
beberapa tahun lamanya dunia penulisan drama Indonesia hampi-hampir hanya
mengenal Utuy T. Sonanti sebagai tokoh tunggal. Menjelang akhir tahun lia
puluhan munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama.
A. NASJAH DJAMIN
Lahir
di Medan pada tahun 1924,tapi kebanyakan di habiskan di Yogya, dengan karya-karyanya Sekelumit Nyanyian Sunda (1964), Di bawah Kaki Pak Dirman (1967), Hilanglah si Anak Hilang (1963), Helai-helai Sakur Gugur (1964), dan
lain-lain.
B. H.M. JURSA BIRAN
Lahir
di Raskasbitung tahun 1933, dengan Dramanya Bung
Besar, setelah itu misbach masih masih menulis beberapa buah drama lagi, di
antaranya berjudul “Setengah Jam Menjelang Maut” (1968) yang pernah yang pernah
di tayangkan ditelvisi. Romanya Menyusuri
Jejak Berdarah (1968).
2.2.6
Para Pengarang Wanita
A. NH. DINI
Lahir
di semarang tanggal 29 Pebruari 1936, mulai menulis cerpen-cerpen yang di muat
dalam majalah Kisah dan lain-lainnya,
dengan beberapa buah cerpen yang sudah di bukukan dengan Dua Dunia (1959).
Dalam
cerpen-cerpen itu Dini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap
kepincangan-kepincangan sosial yang
terjadi di sekelilingnya, Dini juga menerbitkan roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Dini menikah
dengan diplomat prancis, mengikuti suaminya yang pernah tinggal di Jepang dan
ia menulis roman juga yang berjudul Namaku
Hiroko.
2.3 PERIODE
1961 SAMPAI SEKARANG
2.3.1 Sastra dan Politik
Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah
sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastawan Indonesia menunjukkan perhatian
yang serius kepada politik. Para
pengarang zaman sebelum perang banyak yang aktiv dalam kegiatan pergerakan
kebangsaan pada masa itu, bahkan ada yang lebih terkenal sebagai politikus
daripada pengarang misalnya Muh Yamin dan Roestam Effendi. Para pengarang pada
awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersikap a-politis. Chairil Anwar,
Pramoedya Ananta Toer dan lain lain merupakan orang-orang yang mempunyai
pandangan dan kesadaran politik.
Juga adanya perbedaan-perbedaan pandangan
mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan pendirian politik,
sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima
puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak
hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan” Angkatan ’45 sudah
mampus” yang berpanhkal pada suatu sikap politik. Ketika itu mereka berpendapat
bahwa revolusi 45 sudah diselewengkan dan sudahlah mati. Pihak yang berpaham
realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis, aktif
mengadakan polemik.
Dalam
polemik tersebut pada tahun 1952 antara Joebar Ajoeb yang menganut paham
realisme-sosialis denga Hariadi di pihak yang lain dalam ruang
Gelanggang/siasat. Yang menjadi pokok polemik yakni paham “ seni untu seni” dan
“seni untuk rakyat” . yang paing bernilai dalam polemik ini karena keduanya
menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah
terjadi sekitar 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastra dengan Soedatmiko.
Dari
peristiwa itu tampak bahwa plemik semacam itu senantiasa terjadi anatar orang
yang berpaham realisme-sosialis dengan orang dari lingkungan ‘Gelanggang
Seniman Merdeka’. Karena itu orag-orang ketika Rivai Apin sebagai salah seorang
pendiri dan pengasuh ruang Gelanggang
dalam warta sepekan Siasat pada tahun
1954 keluar dari sana dan kemudian masuk pada paham realisme-sosialis.
Pada
tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disebut Lekra.
Sebagai sekretaris jenderalnya dalah A.S.Dharta. rupanya pada mulanya Lekra ini
belum lagi merupakan organ kebudayaan dari PKI. Aganya baru kemudia setelah PKI
kian kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaan, Lekra
dengan tegas menganut ‘seni untuk rakyat’ dan tak henti-hentinya menghantam
golongan yang berbeda paham diantaranya”
seni untuk seni”.
Sementara
itu kedudukan PKI semakin kuat, tahun 1959 Soekarno yang ketika iu menjadi
presiden mendekritkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi dan mengajukan
‘Manifesto Politik’(manipol) sebagai dasar haluan negara. PKI semankin mendapat
keuntungan , pada satu pihak PKI memberikan angn terhadap Soekarno untuk
menjadi diktator dan di pihak lain mengobrakan ketidakpuasan rakyat dengan
slogan’tujuh setan desa’ dan ‘tiga setan kota’ dan semacamnya. Semua itu
dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan yang kemudian
terjadi pada tanggal 30 September 1965 namun berhasil digagalkan oleh pemerintah
Indonesia.
Bukan
hanya dalam bidang politik saja PKI melakukan pengarahan kekuatan secara
demonstratif dan masal untuk menyingkirkan lawan-lawannya. Dalam bidang
kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh Lekra yang secara simultan
bekerja sama dengan Serikat Buruh, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana,,
petani dan potensi masyarakat yang lain.
Dalam
bidang kebudayaan Lekra melakukan salah satu metode komunisme yang sudah
terkenal dimana-mana, yaitu menteror orang atau olongan yang dianggap tidak
sepaham, dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang memiliki pemahaman
yang berbeda di musnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi partai
yang dibubarkan(PSI) dan Hamka(Masjumi)
menjadi sasrannya.Takdir kebetulan sedang berada di Malaysia, juga Idrus dan
Balfas, maka mereka segera di capa sebagai pengarang kontra-revolusikarena
Indonesia saat itu sedang mengumumkan” konfrontasi” terhadap Malaysia. Hamka di
hantam atas karyanya “ Tenggelamnya kapal
van der wijc” yang punya persamaan menyolok dengan Majnun Luthfi Al-manfaluthi dijadikan alasan untuk menghancurkan
namanya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergnakan, baik disekolah
maupun masyarakat.
Pengarang
dan seniman kebudayaan diteroe untuk bergabung kepada Lekra atau dihilangkan.
Mereka mempraktekan teori untuk membagi orang menjadi kawan atau lawan, teror
intensif tersebut btelah menyebabkan banyak budayawan, seniman dan pengarang
menggabungkan diri kepada Lekra . Pada tahun 1959 PNI membentuk LKN(Lembaga
Kebudayaan Nasional) yang pertama kalinya diketuai oleh Sitor Situmorang. NU
membentuk Lesbumi(Lembaga Seniman Budayawan Musim Indonesia) dengan ketua Usmar
Ismail,begitu pula Partai-partai lain.
Dengan
berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa
untuk masuk salah satu kandang, kalau tidak mereka akan menjadi bulan-bulanan
Lekra dan PKI, bahkan organisasi yang tidak tunduk pada partai Naskom dipaksa
supaya bubar dan memilih salah satu partai Naskom sebagai induk.
2.3.2 Manifes Kebudayaan dan Konperensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia
Atas usaha H.B. Jasin dan beberapa orang lain
penyelanggara majalah Kisah almarhum,
sejak bulan Mei 1961 diterbitkanlah majalah Sastra,
sebagai ketua redaksi H.B. Jasin dan semua orang dari majalah Kisah juga bergabung.
Pengarang-pengarang cerpen yang dalam Sastra mendapat keleluasaan untuk tampil dan berkembang antara
lain, A. Basri Asnin, Kamal Hamzah, B. Jass dan lain-lain. Sedangkan para
penyair ialah Isma Sawitri, Goenawan Muhamad, Poppy Hutagalung dan lain-lain.
Pada masa kehidupan sekeliling dipaksa untuk mnerima slogan” politik
sebagai panglima”. Sastra menjadi tempat berkumpul orang-orag yang ingin
mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Pada tanggal 17 Agustus MANIFES
Kebudayaan yang disusun ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis
Jakarta. Manifes ini segrea mendapat sambutan dari seluruh proyek tanah air,
para budayawan seniman dan para pengarang yang hidup terpencil dikota-kota lain
melihat Manikebu sebagai penyelamat, mereka berlomba-lomba menyatakan dukungan
terhadap Manikebu nmelalui majalah Sastra.
Adanya Manikebu
mempermudah Lekra untuk menghancurkan musuh-musuhnya, Manikebu segera dijadikan
sasarannya. Ketika itu pers hampir seluruhnya dikuasai.
Sementara itu Maniekbu tak tinggal diam, mereka menyiapkan sebuah
komperensi para pengarang yang dinamakan konperensi karyawan pengarang
Se-Indonesia(KKPI). Segera kata” Manikebuis” menjadi istilah yang popler untuk
menuduh seseorang kontra revolusi. Majalah Satra
dituntut untuk dilarang terbit, begitu juga majalah lain yang dianggap golongan
Manikebu.
Situasi tersebut memberi ciri pada karya sastra yang dihasilkan pada
period ini, di tengah sajak, cerpen, dan esai yang menyanyikan kemenangan
perjuangan yang ditulis oleh penulis Lekra, timbullah perlawanan para pengarang
yang membela martabat manusia. Sajak dan cerpen terutama esai yag ada pada saat
iru banyak merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat
manusia. Puncak dari sastra ini ialah sajak Taufik Ismail, Mansur samin, Slamet
Kirnanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demnstrasi mahasiswa pada awal
tahun 1966.
Sejak tahun 1966 terbitlah majalah Horison
byang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Goenawan Moehamad ndan lain-lin,
kemudian pada akhir 1967 Sastra pun
dihidupkan kembali,samping itu terbitlah majalah Cerpen yang dipimpin oleh
Kassim Dahlan. Kalau dicermati maka tampaklah majalah-majalah itu isinya
menunjukkan hasil masa transisi.
2.3.3 Para Pengarang Lekra
Orang-orang Lekra disebar untuk menguasai
media masa yang secra resmi bukan milik mereka. Pramoedya Ananta Toer yang
merupakan salah seorang ketua Lekra memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang(Timur) Minggu yang resminya
ialah koran Partindo. Melalui media ini dlakukan serangan terhadap orang atau golongan yang dianggap
membahayakan mereka.
Penyair Lekra yang muda ialah Amarzan Ismail
Hamid yang kadang-kadang menulis cerpen dan esai, tetapi ia tidak pernah
menerbitkan buku sendiri, kecuali dalam bentuk penerbitan bersama yang banyak
dilakukan oleh penerbit Lekra berkenaan dengan suatu pokok yang sedang aktual.
2.3.4 Para Pengarang Keagamaan
Meskipun partai agama tidak ketinggalan
mendirikan lembaga kebudayaan yang berinduk keaanya, namnun pergerakan mereka
sangat terbatas, umunya hanya terbatas pada ruangan-ruangan kebudayaan yang
menumpang pada koran-koran partainya. Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang
penerbitan buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Krsiren saja, Badan
Penerbit Kristen walaupun tak berorganisatoris tak langsung berkaitan, bamun
ada ,menerbitkan beberapa buku sajak dan cerita karangan para pengarangan
kristen.
Dalam karya-karya pengarang keagamaan umumnya
agama baru merupakan latar belakang saja, belum lagi jadi masalah. Mereka
banyak menulis kisah-kisah dan sejaranh agamanya masing-masing. Masalah ini
sudah tidak disinggung walalupun peranan latar belakang sangat kentara.
2.3.5 Sajak-sajak Perlawanan terhadap Tirani
Dalam demonstrasi para mahasiswa diseluruh
Indonesia menuntut tiga tuntutan(tritura) pada awal tahun 1966 terdiri dari
bubarkan PKI, ritul kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Banyak pengarang dan
penyair turut serta secara aktiv nmaun bukan dalam bentuk demonstrasi. Mereka
menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani, dan sajak itu banyak kemudian
disebarkan kepada demonstran, diterbitkan dengan stensil. Diantaranya yang
diterbitkan adalah Tirani dan Bentengi karya Taufik Ismail, yang kmudian diterbitkan
Tirani(1966) dan Benteng (1968).
Adanya protes sosial dan politik dalam sajak
itu melahirkan H.B. Jassin memproklamasikan lahirnya ‘angkatan 66’ melalui
sebuah tulisanya dalam majalah Horizon
1966), dalam tulisan itu Jassin mengatakan ‘khas pada hasil-hasil kesusastraan
66 ialah protes sosial kemudian protes politik’ lebih lanjut ia mengatakan
bahwa tiap 15 ayau 25 timbul generasi baru dan dapatlah diramalkan bahwa tahun
1980 akan datang lagi satu angkatan baru, tahun 2000 dan seterusnya.
2.3.6 Beberapa Pengarang
Buku-buku prosa yang
menjulang pada periode ini umumnya buah
tangan para pengarang yang sudah kita kenal pada periode sebelumnya. Secara
sepintas kan disinggung juga tentang beberapa pengarang prosa yang muncul atau
terutama berkembang dalam peride ini.
B. Soelarto (lahir pada
tanggal 11 September 1936 di Purworejo) menulis cerpen dan drama.
Cerpen-cerpennya penuh dengan protes dan ejekan. Dramanya Domba-domba Revolusi mendapat reaksi yang hebat dari orang-orang
Lekra.
Bur Rasuanto (lahir di
Palembang pada tanggal 6 April 1937) kecuali menulis cerpen, juga menulis sajak
dan esai bahkan roman. Cerpen-cerpennya dalam Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka
Akan Bangkit (1964). Sajak-sajak yang ditulisnya semasa demontrasi awal
tahun 1966 diterbitkan (dengan stentil) berjudul Mereka Telah Bangkit. Kemudian diterbitkan dengan tercetak di Medan
(1967).
A. Bastari Asnin (lahir
tanggal 29 Agustus 1939 di Muaradua, Palembang) menulis cerpen-cerpen yang di
antaranya pernah mendapat hadiah tahunan majalah majalah Sastra tahun 1961 dan 1962. Kemudian di terbitkan berupa
buku dalam dua kumpulan, yaitu Di Tengah
Padang (1962) dan Laki-laki Berkuda (1963).
Sekarang Bastari bekerja sebagai anggota redaksi Hrian Kami.
Satyagraha Hoerip
Soeprobo (lahir di Lamongan tanggal 7 April 1934) banyak menulis cerpen dan
esai tentang kebudayaan. Ia banyak tertarik untuk melukiskan kehidupan
politikus dalam karangan-karangannya. Roman Sepasang
Isteri (1964). Pengarang sendiri memberi keterangan di bawah judul “novel
perjuangan politik”. Tahun 1969 Satyagraha Hoerip muncul sebagai editor sebah
buku Antologi Esei Sekitar
Persoalan-persoalan Sastra yang memuat antara lain esai buah tangan Asrul
Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman dan lain-lain.
Gerson Poyk (lahir di Namodale, pulau Roti, tanggal 16 Juni
1931) ialah seorang pengarang Kristen yang dalam cerpen-cerpennya banyak
menokohkan manusia-manusia ynag hendak mengamalkan ajaran Kristen. Bukunya yang
pertama berupa sebuah roman pendek berjudul Hari-hari
Pertama (1964). Dalam cerpen-cerpennya terasa humor dan kemampuan
berkelakar yang jernih dan asli. Ia sekarang menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.
Sementara itu beberapa
pengarang lain telah pula berhasil menerbitkan buah tangannya berupa buku.
Antaranya Ras Siregar telah menrbitkan sekumpulan cerpen berjudul Harmoni (1965) dan sebuah roman Terima Kasih (1969). L. C. Bach yang
pada tahun 1954 pernah mendapat hadiah sastra dari Gelangan / Siasat setelah lama tidak muuncul kemudian terbit dengan
sebuah roman pendek berjudul Hati Membaja
(1964). Pornawan Tjondronagoro menrbitkan Mendarat
Kembali (1962) dan Mabuk Sake (1963). Rosida Amir menerbitkan
sekumpulan cerpen Jalan yang Tak Kunjung
Datar (1962). Zen Rosdy menerbitkan sekumpulan cerpen lucu dengan judul Cinta Pertama (1964). Matia Madijah
menulis sebuah roman berjudul Kasih di
Medan Perang (1962).
Kecuali
itu dalam majalah Sastra dan Horison kita lihat pula beberapa
pengarang baru yang mengumumkan karya-karyanya berupa cerpen. Misalnya
Zulidahlan, Umar Kayam (lahir tahun 1932), Danarto, Muh. Fudoli, Julius
Sijaranamual, dan lain-lain.
2.3.7 Beberapa Penyair
A. TAUFIQ
ISMAIL
Sebenarnya
Taufiq Ismail (lahir tahun 1937 di Bukittinggi, tetapi dibesarkan di
Pekalongan) telah mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpn dan esai-esainya
sejak tahun 1954. Tetapi baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke muka, ketika
sajak-sajak yang ditulisnya dengan nama samaran Nur Fadjar diumumkan dengan
judl Tirani di tengah-tengah
demontrasi para mahasiswa dan pelajar menyampaikan “tritura”.
Peristiwa
di Sekretariat Negar direkamkan dalam sajaknya ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’,
‘Harmoni’, ‘Jalan Segera’ dan peristiwa hari-hari kemudiannya, tatkala terjadi
pembunuhan terhadap Arif Rachman hakim direkamkan dalam sajak-sajaknya
‘Karangan Bunga’, ‘Selemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’ dan ‘Seorang Tukang
Rambutan Pada Isterinya’.
Sajak-sajak
itu kebanyakan hanya merupakan snapshot peristiwa-peristiwa saja. Tetapi
meskipun demikian, tak bisa dikatakan tidak bernilai. Taufiq memperhatikan
nilai-nilai estetik sajak-sajaknya, misalnya sajak ‘Seorang Tukang Rambutan
Pada Istrinya’.
Belakangan
ini Taufiq, kecuali duduk sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta dan anggota
redaksi majalah Horison, banyak
menulis kolom (sebagai kolumnis) dalam berbagai harian di Jakarta. Ia pun masih
banyak menulis sajak dan cerpen serta esai-esai.
B. GOENAWAN
MOHAMAD
Goenawan Mohamad
lebih dikenal sebagai seorang penulis esai. Esai-esainya tajam dan ditulis
dengan penu kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair yang
berbakat. Produktif pula, sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah.
Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Tetapi ia pun tidak
menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya.
Hal itu tampak dalam esai-esainya dan juga dalam sajak-sajaknya.
Goenawan
lahir di Pekalongan pada tahun 1942. Kecuali yang dimuat bersama buah tangan
para penyair lain dalam Manifestasi yang
diselenggarakan oleh M. Saribi Afn., sajak-sajaknya belum diterbitkan sebagai
buku. Juga esai-esainya masih berserakan dalam lembaran-lembaran majalah yang
memuatnya pertama kali.
C. PENYAIR-PENYAIR
LAIN
Saini
K. M. (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis
sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah sekitar tahun enam puluh. Kecuali
menulis sajak Saini banyak juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan.
Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerahnya, bahasa
Sunda. Kumpulan sajaknya Nyanyian Tanah
Air (1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.
Sapardi
Djoko Damono menulis sajak sangat berlimpah-limpah. Sajak-sajak yang ditulisnya
tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul duka Mu abadi.
Wing Kardjo
Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sebenarnya sudah
menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Tetapi baru setelah ia bermukim
di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah.
Kecuali menulis sajak ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik
tentang persoalan-persoalan seni umumnya.
Budiman
S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis
sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian
pula Piek Ardijanto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W. M., Indonesia
O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt., dan lain-lain.
Beberapa
orang penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya
Kamal Firdaus T.F. menerbitkan Di Bawah
Fajar Menyingsing (1965), dan Rachnat Djomoko Pradopo (lahir 3 November
1939 di Klaten) menerbitkan Matahari Pagi
di Tanah Air (1967) dan Salamet Kirnanto menerbitkan Kidung Putih, puisi alit (1967).
2.3.8 Para Pengarang Wanita
Jumlah
para pengarang wanita kita hingga sekarang belum juga banyak dalam masa
terakhir kini kita menyaksikan munculnya nama baru. Titie Said, S.
Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Ernisiswati Hutomo, Enny
Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita
lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy
Soenharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro, dan lain-lain.
Titie
Said atau nama lengkapnya Ny. Titie Raja Said Sadikun ialah seorang pengarang
wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 11
Juli 1935. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Perjuangan dan Hati Perempuan (1962).
S.
Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya Dua Kerinduan (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan akan
kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih hanya harapan untuk masa depan.
Sugiarti
Siswadi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan
Lekra. Kumpulan cerpennya Sorga di Bumi
(1960).
Ernisiswati
Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah sastra.
Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis
cerpen dengan produktif.
Enny
Sumargo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak
mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini
ia telah menerbitkan sebuah roman berjudul Sekeping Hati Perempuan (1969).
Susy
Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan
sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul Seraut Wajahku (1961).
Isma
Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya
banyak dimuat dalam Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun
enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberi judul Kwatrin terdiri dari lebih seratus buah, sedang menunggu
penerbitannya.
Toeti
Heraty Noerhadi yang kalau menulis menggunakan nama Toeti Heraty, dilahirkan di
Bandung 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horizon. Ia merupakan seorang Sarjana
Psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.
2.3.9 Drama
Kegiatan
di dalam pementasan drama kian meningkat juga berbeda dengan penulisan
drama-drama pada masa sebelumnya, yang biasanya lebih dimasukkan sebagai drama
bacaan penulisan drama-drama baru itu lebih erat hubungannya dengan pementasan.
Muhammad
Diponegoro (Lahir di Yogyakarta pada tanggal 28 Juni 1928) yang merupakan ketua
grup Drama Teater Muslim di Yogyakarta banyak menulis lakon-lakon yang
diambilnya dari sejarah dan cerita-cerita islam. Antara lain ia menulis Iblis, dan Surat pada Gubernur.
Yang
banyak pula menulis naskah-naskah drama yang berdasarkan kisah-kisah islam ialah
M. Yunan Helmy Nasution. Dia memimpin Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI)
dan telah menulis dan mementaskan drama-drama Iman dan lain-lain.
Saini
K.M. yang namanya sudah disebut sebagai penyair, juga menulis drama pementasan
Akademi Teater dan Film serta Teater Perintis Bandung. Ia banyak mengambil
kisah-kisah lama yang dikerjakan menjadi drama-sajak, antara lain Prabu Geusan Ulun yang telah
berkali-kali dipentaskan.
B.
Soelarto yang sudah dikenal dengan dramanya
Domba-domba Revolusi kadang-kadang juga mengumunkan dramanya yang baru
dalam majalah-majalah di Jakarta.
Yang
pernah berhasil memuatkan beberapa dari drama-drama yang ditulisnya ialah
Arifin C. Noer, yang juga aktif dalam lapangan teater. Ketika di Yogyakarta ia
aktif dalam Teater Muslim dan grup-grup drama lain.
Arifin
dilahirkan di Cirebon pada tahun 1941 dan sejak di SMP Cirebon sudah tertarik
pada kesenian. Dramanya Matahari di
sebuah Jalan Kecil dan Nenek Tercinta
mendapat hadiah sayembara penulisan drama Teater Muslim 1963.
2.3.10 Esai
Penulisan
kian hari ternyata kian mendapat perhatian para pengarang kita. Terutama Iwan
Simatupang dalam esai-esainya banyak melontarkan gagasan-gagasan dan
perspektif-perspektif baru.
Sayanglah
bahwa esai-esai itu hampir semuanya terbenam dalam majalh-majalah yang pertama
kali memuatnya. Kecuali Jassin, hampir semuanya tidak pernah berhasil
menerbitkan esai-esainya menjadi buku. Sekumpulan esai mengenai
persoalan-persoalan sastra telah diterbitkan oleh Satyagraha Hoerip Soeprobo dengan
judul Antologi Esai Sekitar Persoalan
Sastra (1969).
DAFTAR
PUSTAKA
Rosidi, Ajib.1986.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:Percetakan
Bina Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar